Sesederhana apapun cerita hidup yang kita alami, akan menjadi sebuah cerita menarik bagi orang lain apabila kita pandai mengolah kata saat menceritakannya.

ARP GOES TO SAWARNA: CHAPTER 2

Oleh: Amad Kocil

Halo, guys, ketemu lagi dengan saya si tampan pemalu :D

Sesuai janji saya di tulisan sebelumnya, kali ini saya akan membahas tantang betapa serunya kegiatan ARP selama di Sawarna. Yuk, simak ya....

**********

Sekitar jam dua belas siang, kami diberi tahu oleh pemilik villa bahwa menu makan siang sudah siap. Dan benar saja, begitu saya keluar kamar tampak hidangan makan siang sudah tersaji. Kali ini pemilik villa menyuguhkan menu ayam goreng dan tempe goreng serta lalapan khas Sunda, lengkap dengan sambal dan kerupuk. Kami menyantapnya dengan lahap, tidak peduli dengan aroma bau jigong yang masih menempel di mulut. Siang itu kami bangun tidur dalam keadaan lapar. Bagaimana tidak, kami sedang dalam proses pemulihan stamina setelah menempuh perjalanan yang sangat jauh dan melelahkan. Jadi makan campur jigong pun tetap saja nikmat. Ya, memang tidak semuanya, ada juga sebagian dari kami yang memilih untuk mandi terlebih dahulu sebelum makan. Mereka ini higienis sekali.


Momen saat makan siang.

        Sambil menyantap makan siang, kami masih asik bercerita tentang ini-itu. Serunya perjalanan sepanjang malam tadi masih terekam di benak kami. Saking serunya, rasanya terlalu indah untuk dilupakan, terlalu sedih dikenangkan, setelah engkau jauh berjalan, dan kau kutinggalkan. *malah nyanyi*
Sepertinya tidak berlebihan kalau cerita tersebut menjadi tema utama obrolan kami untuk beberapa hari ke depan. Iya gak, guys?
Pukul 14.30, kami beramai-ramai ke pantai. Di sinilah keseruan selanjutnya dimulai.
Awalnya, kami tercerai-berai. Ada yang foto-foto, main bola, neduh di saung pinggir pantai, ada yang basah-basahan. Namun ketika hari menjelang sore, semuanya membaur, berkumpul dan main ombak bersama.
Saya yang sedari kecil takut berdekatan dengan laut (serius), hanya bisa memerhatikan mereka dari kejauhan dengan perasaan waswas. Tapi mereka sendiri tampak begitu asik. Yang menarik dari pemandangan itu adalah posisi mereka yang berpasang-pasangan. Si A pegangan tangan dengan si B, si C pegangan tangan dengan si D, dan seterusnya. Saya duduk di belakang bersama Beni. Tapi nggak sambil pegangan tangan seperti mereka, sumpah. Saya pegangan sama pasir, ahelah!
Mereka berdiri menantang ombak, ketika ombak datang mereka berlarian sambil tertawa. Tawa mereka kian pecah ketika ombak menghempaskan tubuh mereka sampai terguling-guling lalu keluar dari gulungan ombak dengan membawa tawa renyah. Seru sekali.
Pada saat yang bersamaan, naluri saya menangkap ada sepasang mata yang memandang mereka dengan tatapan sendu penuh kesedihan. Di tengah tawa riang mereka, teriakan manja bercampur semilir angin laut yang syahdu, gemuruh ombak yang menggebu, senja yang mulai menguning, pasir pantai yang lembut dan air laut yang membiru, di antara itu semua, diam-diam ada sekeping hati yang retak dikoyak cemburu. Hati siapa tuh? Ah, lahacia... yang jelas itu bukan saya. Saat itu saya sedang asik memerhatikan seseorang. Kadang saya senyum-senyum sendiri ketika tanpa sengaja beradu tatap dengan si dia.
Keseruan mereka membuat saya tertarik untuk bergabung. Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, dengan sangat hati-hati saya maju mendekati ombak. Dan akhirnya, saya mengerti kenapa mereka bisa sebahagia itu. Ternyata bersahabat dengan laut memang sangat asik. Tapi sayang, saya mainnya sendiri, gak ada pasangan. #watdezigh!
Oh iya, selain kami yang bermain ombak, di ujung pantai sana ada Faber, Agung, Agus, Ziqi, Anto, dan beberapa orang lainnya (saya lupa). Mereka sedang duduk manis di saung sambil berbincang mengenai acara api unggun yang akan di laksanakan nanti malam. Selain itu, mereka juga menjadi tempat kami menitipkan handphone, dompet atau apa pun yang bisa dititipkan. Sungguh baik sekali mereka ini. Saya harus berterima kasih.
Kembali ke yang tadi. Keseruan kami tidak berakhir sampai di sini. Lelah dengan ombak, kami berganti bermain dengan pasir. Entah siapa yang mulai, ketika saya menepi, mereka sedang berkejaran satu sama lain. Yang satu berlari sambil menggenggam pasir yang siap dilemparkan, satunya lagi lari terbirit-birit menghindari lemparan pasir. Dan, sementara yang lain sibuk main lempar-lemparan pasir, si X malah sibuk lempar-lemparan senyum dengan si Y heheh... kalian jadian aja gih! Nunggu apa lagi coba? Nunggu Monas kawin dengan Gedung Sate? Ahelah, kelamaan.
Sebenarnya di bagian ini saya ingin membahas kisah cinta si X dan si Y. Tapi saya tidak mendapat izin dari pihak yang bersangkutan. Selain si X dan Y ini, ada juga kisah cinta yang tidak kalah menarik. Tentu kalian tahu, atau minimal pernah dengar The Legend Love Story. Menceritakan tentang lika-liku hubungan si Randi dan Yoana, gosip-gosip sedap seputar si Andri Weureu dan Putri Nurhayati yang sampai sekarang tidak ada yang tahu bagaimana kelanjutannya hehe.... Tapi, cerita mereka sudah bukan rahasia lagi. Jadi saya rasa tidak perlu saya bahas lagi di sini.

Lanjut aja ya....

Dulu, salah satu kawan saya di Bandung pernah berkata, ”Anak tongkrongan itu, semakin biadab bercandanya, maka semakin kuat hubungan pertemanannya.”
Kalimat yang keluar dari mulut kawan saya itu rupanya benar adanya. Hal ini terbukti ketika kami bermain pasir. Salah satu dari kami, sebut saja Leo, dia ditarik, digeret beramai-ramai, hingga terkapar di tepi pantai, lalu dilempari pasir dengan membabi buta. Kaki, tangan, kepala, punggung, sampai belahan pantat, semuanya berlumur pasir. Saya khawatir pasirnya masuk ke mata, kan  bahaya. Tapi untung lubang mata Leo agak kecil (baca: sipit), jadi pasir gak bisa masuk ke mata. :D. Biadabnya lagi, dia malah jadi bahan tertawaaan. Saya sedih, rasanya pengen ikut ngakak guling-guling buahaha...
Rupanya, Leo tidak pasrah begitu saja, dia bertekad untuk balas dendam. Alhasil, Benget dan Adi jadi korban berikutnya. Dan, ya, seperti kata kawan saya di atas, ’kebiadaban’ tadi menjadi salah satu cara mereka untuk mempererat pertemanan.
Selepas main ombak dan pasir, sekitar jam lima sore, kami kembali ke villa untuk bersih-bersih. Tapi sebelumnya tidak lupa kami berfoto terlebih dahulu. This is it, cekidot!
Sumber Foto: Kornel (Harta Kramat)

Sumber Foto: Liza (Harta Pusat) 
Sumber Foto: Evra (Harta Kramat)
Sumber Foto: Kornel (Harta Kramat)

Sumber Foto: Liza (Harta Pusat)

Sumber Foto: Liza (Harta Pusat)


Sumber Foto: Kornel (Harta Kramat)
Pukul 17.30, dipimpin oleh Ferry, Faber dan Agung, kami berangkat ke Tanjung Layar (kalau gak salah namanya itu). Konon katanya, Tanjung Layar ini adalah maskotnya Sawarna, tempat yang tepat bagi siapa pun yang ingin melihat sunset.
Perjalanan dari villa menuju Tanjung Layar harus melewati pemukiman. Dengan mengendarai sepeda motor, kami melalui jalan tanah yang agak sempit dan licin. Rumput-rumput ilalang tumbuh semaunya di sepanjang jalan. Kondisi jalan yang demikian, membuat kami kesulitan. Kami harus sangat berhati-hati demi menjaga keselamatan. Anehnya, bagi warga sekitar, jalanan tersebut begitu mudah dilalui.
Saat kami mengendarai motor dengan sangat hati-hati, tiba-tiba ada seorang mas-mas (diduga warga setempat) mengendarai motor dan melewati rombongan kami dengan kecepatan yang luar biasa. Kendaraannya meliuk-liuk, rambutnya yang panjang agak keriting melambai-lambai karena tertiup angin, sebatang rokok tergantung di mulutnya laksana jagoan kampung, gayanya keren sekali bak pembalap Moto GP. Saya dan Agung sempat terkagum-kagum melihat kelihaian dia menaklukan jalan tersebut. Tapi tidak lama kemudian, begitu kami terkagum-kagum padanya, dia malah terjerembab ke dalam selokan di pinggir sawah. Saya ingin sekali turun dari motor untuk menghampiri dia, lalu berbisik di telinganya, "Rasain lu!"
Beruntung di sana ada rekan kami, Leo, yang membantu mas-mas tersebut. Setelah terperosok ke dalam selokan, mas-mas itu kembali berjalan mengendarai motornya, namun kali ini dia mengendarainya dengan pelan. Pelan sekali. Lebih pelan dari keong yang lagi lomba balap karung.
Kurang lebih dua puluh menit kemudian, kami tiba di Tanjung Layar. Di sana sudah ada rombongan touring lain yang berkumpul. Sama seperti kami, mereka pun sedang menunggu sunset.
Sambil menunggu sunset tiba, kami berfoto ria demi mengabadikan diri bersama nuansa senja yang kekuningan. Indah sekali. Berikut foto-fotonya.








Senyum berseri dan tawa bahagia menjadi penghias senja sore ini. Kami benar-benar menikmatinya. Warna kuning kejinggaan membungkus langit yang membentang di hadapan kami. Lembaran angin sore membelai wajah kami dengan lembut, menerbangkan ujung-ujung rambut kami, berbisik mesra di telinga kami. *ini saya ngomong apaan sih?*
Waktu bergeser lagi. Hari mulai gelap. Langit mulai mendung. Sunset telah berlalu. Pertunjukan Tuhan sore ini telah berakhir. Kami bergegas meninggalkan Tanjung Layar dan kembali ke villa untuk beristirahat.
 Sebentar, ada yang kurang. Selama kami di Tanjung Layar, ada dua orang anggota kami yang tidak kelihatan batang hidungnya. Mereka adalah Andri Weureu dan Beni Bento. Selidik punya selidik, motor mereka mogok dalam perjalanan menuju Tanjung Layar. Karena sudah ketinggalan terlalu jauh, mereka berdua memutuskan untuk putar balik dan terpaksa mendorong motor sampai villa. Nahasnya lagi, saat sedang mendorong motor, mereka dihadang oleh seekor guguk. Kasian wkwk....
Sampai di villa, hari sudah gelap. Kami bersiap-siap untuk menuju puncak acara. Acara terakhir yang sangat ditunggu-tunggu, yaitu acara api unggun yang akan diisi dengan pemilihan ketua ARP baru, Stand Up Comedy Roasting Battle, pembagian doorprize dan pelepasan lampion.
Tepat pukul 19.00, api unggun sudah siap. Kami semua duduk bersama, mengitari api unggun. Acara dibuka dengan sambutan dari ketua ARP, Faber Pasaribu yang didampingi oleh Agung dan Ferry selaku wakil ketua. Beliau (halah beliau :D) menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua anggota atas partisipasinya sehingga touring kali ini berjalan dengan meriah. Selanjutnya pemilihan ketua ARP yang baru. Ada tiga kandidat yang telah disiapkan. Di antaranya Benget, Randi dan Bento. Pemilihan tiga orang kandidat ini didasari alasan karena mereka bertiga adalah bagian dari The Legend ARP. Artinya, mereka ini turut menjadi pelopor berdirinya ARP hingga sekarang.
Ada satu hal  yang membuat saya terharu malam itu, serius. Ketika tiga kandidat itu diminta menyampaikan visi dan misi seandainya terpilih jadi ketua ARP, Beni Bento maju untuk menyampaikan sepatah-dua patah kata. Dia terdiam sejenak untuk mengambil jeda, matanya berkaca-kaca, mulutnya bergetar seolah ada getir yang menjalari dadanya, ”Ini touring terakhir saya,” ujarnya pelan seraya terbata-bata. Lalu semuanya hening. Kami, khususnya saya, sangat terkejut mendengarnya. Tapi keputusan itu bukan tanpa sebab. Di belakang itu semua ada alasan yang mesti kami maklumi. Kami mengerti bahwa tidak lama lagi Beni akan menjadi seorang ayah. Ya, saya doakan semoga anaknya kelak menjadi anak yang soleh/solehah. Berbakti terahadap orangtua, berguna bagi bangsa dan agama. Aamiinin, Brayy!
Setelah mendengarkan visi dan misi dari masing-masing calon ketua, pemilihan pun  dilakasanakan dengan vote. Dan yang mendapat suara paliang banyak adalah Benget. Otomatis, sejak detik itu juga dia resmi menyandang gelar sebagai ketua ARP yang baru. Congrat!




Acara dilanjut dengan Stand Up Comedy Roasting Battle. Sebuah acara Stand Up Comedy yang isinya adalah bullying terhadap lawannya. Sebatas buat hiburan semata. Pada prinsipnya, apa pun yang disampaikan selama Roasting Battle ini tidak boleh diambil hati. Roasting Battle kali ini mempertemukan saya (Kocil-red) dengan Arfian. Roasting Battle berjalan dengan sangat ramai. Kami berdua sukses membuat para hadirin tertawa terpingkal-pingkal. Walau pun kalau dilihat dari data statistik dan isi materi, bisa dikatakan saya kalah telak dari Arfian. Tapi, ini bukan perkara menang atau kalah, lebih dari itu semua, kami mandapatkan kepuasan karena turut meramaikan acara.
Acara selanjutnya, pembagian doorprize. Jujur, ini bagian yang paling malas untuk saya bahas. Kalian tahu kenapa? Karena dua kali ngambil undian saya dapatnya ZONK! Astaghfirulloh.... :( Ah, sudahlah, bagian ini skip aja yess.
Selesai dengan doorprize, kami istirahat sejenak untuk menikmati hidangan yang disediakan oleh pemilik villa. Malam ini kami disuguhi menu ikan bakar, kangkung, sambal, kerupuk dan lain-lain. Tanpa babibu, saya langsung menyantapnya dengan lahap.





Sekitar jam sembilan, finally, kami sampai di acara penutup, yaitu pelepasan lampion. Sayang, acara yang ditunggu-tunggu ini gagal total karena terkendala hal-hal di luar dugaan. Sebagai gantinya, kami mengadakan pesta masing-masing. Karena saat itu semua acara telah selesai, jadi kami waktu bebas. Bebas mau ngapain aja, terserah.
Sebagian berkumpul di teras, dengerin musik ajeb-ajeb kenceng banget, sebagiannya lagi memilih kongko di saung tepi pantai.
Tepat pukul 01.00, kami semua beristirahat di kamar masing-masing dalam rangka saving energy mode untuk persiapan pulang besok pagi.
Oke, sampai sini dulu ya, guys. Cerita selanjutnya akan saya bahas di ARP GOES TO SAWARNA: CHAPTER 3. Tentang serunya perjalanan pulang kami menuju Jakarta dan keseruan lainnya yang kami temui sepanjang perjalanan. Ditunggu ya....
Babayy...

ARP GOES TO SAWARNA: CHAPTER 1


Oleh: Amad Kocil


Dulu, dulu sekali, ketika melintas di jalan raya, saya sering melihat rombongan sepeda motor dalam jumah besar dengan aksesoris yang hampir sama. Jaket, stiker, logo hingga jenis motor yang mereka kendarai. Semua tampak seragam. Pergerakan mereka pun begitu berirama. Seperti ada rantai pengikat antara motor satu dengan motor yang lainnya. Terlebih ketika saya melihat pengendara motor yang berada di posisi paling depan. Sesekali ia menggerakkan tangan, bahkan kaki, lalu diikuti oleh rekannya di belakang. Kompak sekali.
Ah, saya langsung membayangkan seandainya saya ada di dalam rombongan itu, seandainya saya menjadi salah satu dari mereka, tentu akan senang sekali rasanya. Saya menduga, tempat-tempat yang mereka kunjungi pasti bukan tempat biasa. Selain jauh, pasti istimewa dan syarat akan keindahan alam.
Belakangan saya tahu, pemandangan yang saya lihat itu disebut rombongan touring. Konon katanya, hubungan kekeluargaan pelaku touring ini begitu kental. Perlahan, saya mulai tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang hal itu. Bahkan kalau bisa, dan kalau ada kesempatan, saya ingin seperti mereka. Melakukan perjalanan jauh dengan mengendarai sepeda motor. Di mana dalam setiap putaran rodanya selalu ada kebersamaan, hingga melahirkan status kekeluargaan.
Dan akhirnya, bertahun-tahun kemudian, Tuhan mengabulkan doa saya.


*************