Oleh: @Amad_Kocil
Mata Arman tak
berkedip menatap kosong ke luar jendela. Memerhatikan kendaraan yang berlalu
lalang di luar sana, seolah tidak tertarik dengan obrolan ketiga temannya yang
duduk satu meja di rumah makan nasi padang, tempat mereka menyantap makan siang
di sela jam istirahat kantor. Rendang dan nasi pesanannya masih utuh, tak
tersentuh sama sekali. Padahal ia sudah memesannya lebih dari lima belas menit
yang lalu. Bahkan ketiga temannya sudah habis melahap pesanan masing-masing.
Sekarang mereka asik mengobrol tentang pekerjaan. Sesekali mereka juga membicarakan
bos mereka yang super menyebalkan.
Ini kan jam istirahat. Kenapa masih ngomongin pekerjaan, sih?
Kenapa selalu membahas hal yang sama
setiap hari? Membosankan! Seandainya....
Arman menghela napas lalu
mengembuskannya sedikit demi sedikit hingga kedua pipinya membulat. Nafsu
makannya hilang seketika. Rasa bosan sudah cukup membuat perutnya kenyang.
Sebenarnya Arman sudah mencoba
menciptakan tema obrolan sendiri yang menurutnya lebih menyenangkan ketimbang
membicarakan pekerjaan. Seperti yang ia lakukan bersama tiga sahabatnya dulu. Tapi Arman sadar bahwa yang sedang
bersamanya saat ini adalah orang lain. Bukan sahabat-sahabatnya. Mereka sama
sekali tidak tertarik dengan obrolan Arman tentang sepak bola, film, shuffle dance dan hal-hal lainya. Arman
memilih bungkam dalam kebosanan.
Masih ada sisa setengah jam
sebelum jam istirahat berakhir. Arman memutuskan beranjak dari sana dan meminta pelayan membungkuskan
segelas jus alpukat kesukaannya. Mungkin di kantor ada obrolan lain yang lebih menarik, pikirnya.
Saat berjalan menuju kantor,
Arman berpapasan dengan beberapa anak muda berusia beberapa tahun lebih muda
darinya. Mereka mengenakan kaus warna oren lengkap dengan syal serta atribut
lain yang menunjukkan identitas mereka sebagai supporter fanatik klub sepak bola asal ibu kota, Persija Jakarta.
Mereka adalah Jakmania. Arman mengangkat jempol dan telunjuk—membentuk huruf
J—ke arah mereka sambil berteriak ”Sajete” yang artinya salam jempol telunjuk.
Salam khas sesama anggota Jakmania. Hari ini pasti ada jadwal pertandingan
Persija. Arman jadi teringat moment
tak terlupakan bersama tiga sahabatnya dua tahun silam saat nonton tim
kesayangannya itu.
Setibanya di kantor, Arman
mendapati suasana yang tidak kalah membosankan. Di luar ekspektasinya. Hanya
ada segelintir orang di sana. Dua orang karyawati yang asik menonton drama
korea di komputer dan empat orang ibu-ibu yang sedang bergosip ria sambil
menyantap menu makan siang yang mereka bawa dari rumah masing-masing. Di
beberapa ruangan terdengar bunyi printer
dan dering telepon bersahut-sahutan. Bukan hal yang aneh bagi Arman. Ruangan
itu memang kerap kali bekerja tak kenal waktu. Para karyawannya seolah tidak mempunyai
jeda untuk sekadar beristirahat. Loyalitas tanpa balas! Arman bergumam pelan. Sinis.
Ia tahu betul gaji yang mereka terima tidaklah sebanding apa yang mereka
berikan kepada perusahaan.
Arman duduk terpaku di meja
kerjanya. Sesekali ia menyesap jus alpukat yang ia bawa. Cukup untuk
menyegarkan tenggorokannya, tapi tidak dengan hatinya yang gersang. Sejak enam
bulan lalu, hanya hitam dan putih yang dilihatnya di kantor itu. Gelak tawa dan
segala macam keramaian di sana hanya membuatnya semakin kesepian. Ia merasa
kehilangan..
Seandainya kalian masih ada, mungkin gue nggak bakal kesepian....
Pikirannya melayang, mengingat
tiga sahabatnya yang resign sekitar
enam bulan lalu. Diaz, Ferdy dan Shani. Sudah tiga tahun Rehan berkerja di
sana. Setiap jeda waktu yang dimilikinya selalu dihabiskan dengan mereka. Membicarakan
banyak hal yang selalu berujung tawa. Sering kali mereka menghabiskan waktu
istirahat bersama ataupun sepanjang sore selesai kerja. Bercerita tentang
cita-cita dan khayalan-khayalan konyol seputar kehidupan. Tidak ada tema
kerjaan yang dihubung-hubungkan dalam celotehan mereka. Hanya tiga orang itu yang selalu menerima ide gila
yang ada di kepala Arman. Salah satunya adalah dua tahun silam, ketika Arman
mengajak mereka meninggalkan kantor pada jam istirahat hingga malam hari hanya
untuk menonton Persija Jakarta, tim sepak bola kesayangannya yang hari itu akan
berlaga di Senayan menghadapi musuh bebuyutannya, Persib Bandung. Di sana
mereka berteriak sesuka hati, memarahi wasit, mencaci maki pemain lawan hingga
menyanyikan lagu dukungan untuk timnya. Tak peduli seberapa besar hujan
menerpa. Mereka larut dalam kebahagiaan. Kebahagiaan yang lahir dari
kebersamaan. Keesokan harinya, masing-masing dari mereka dihadiahi SP oleh HRD
dan diancam akan dipecat kalau melakukannya sekali lagi. Hari itu menjadi moment yang tidak akan pernah pudar di
dalam ingatan Arman hingga hari ini.
Kebersamaan itulah
satu-satunya alasan mereka bertahan bekerja di sana selama bertahun-tahun.
Berat untuk meninggalkan satu sama lain. Namun pada akhirnya, takdirlah yang
berbicara. Tak dapat dielakkan lagi. Ketika takdir membentangkan jalan yang
berbeda kepada mereka, tentu itulah yang terbaik yang harus mereka terima.
Tepat enam bulan lalu, Shani
menikah dengan seorang pengusaha. Suaminya tidak mengizinkannya bekerja. Shani
menurut kemudian resign. Dua minggu
setelahnya, giliran Ferdy yang resign.
Berbekal ijazah sarjana jurusan ekonomi, Ferdy melamar pekerjaan ke perusahaan
lain yang lebih bonafide. Tidak perlu
waktu lama, Ferdy langsung diterima. Lain halnya dengan Diaz. Dua minggu
selepas Ferdy, surat pengunduran diri Diaz menyusul ke meja HRD. Melalui
pertimbangan yang sangat matang, Diaz lebih memilih untuk melanjutkan kariernya
sebagai musisi. Sekarang ia memiliki kesibukan manggung di kafe-kafe Jakarta
bersama band-nya dengan bayaran yang lebih tinggi dibanding gajinya selama
menjadi karyawan.
Saat itulah, secuil ide gila
melintas kembali dalam kepala Arman. Diraihnya handphone yang ia simpan dalam laci meja kerja. Ia browsing sebentar untuk memastikan
rencananya. Sip! Batin Arman berteriak. Kemudian segera mengirim pesan singkat kepada
tiga sahabatnnya melalui obrolan grup. Arman meminta mereka untuk ketemuan di
sebuah kafe kecil dekat kantor tempat biasa mereka nongkrong dulu sepulang
kerja. Sekarang juga.
Shani adalah orang pertama
yang membalas pesan Arman. Ia tidak bisa datang dengan alasan rencananya
terlalu mendadak. Selain itu, sekarang ia dalam kondisi hamil muda. Suaminya
tidak akan mengizinkan. Selang beberapa saat, Ferdy dan Diaz membalas secara
bersamaan dengan jawaban yang sama. Hari ini Ferdy ada meeting penting yang harus ia hadiri. Sementara Diaz sedang dalam
perjalanan ke semarang untuk manggung bersama band-nya. Lalu terjadi chat santai antara Shani, Ferdy dan
Diaz. Mereka saling mengapresiasi kesibukan masing-masing. Saling mendukung dan
mendoakan.
”Kalian keren! Kalau udah pada sukses, nanti kita renui
ya. Saling tuker cerita,”
kata Shani dalam chat-nya.
”Jaga kandungan lo, Shan. Kalo
anak lo udah lahir, nanti kita nonton Persija bareng-bareng ya. Kayak waktu
itu,” balas Ferdy yang diakhiri dengan emot senyum.
Diaz mengamini.
Arman tak berkutik. Ada rasa
kesal perlahan menjalar dalam dadanya. Kesal lebih kepada diri sendiri. Sebuah
kenyataan yang baru ia sadari, bahwa ketiga sahabatnya sudah menemukan
takdirnya masing-masing. Mereka sudah beberapa langkah lebih maju darinya. Sementara Arman kian membusuk dalam
kesepian. Ia mendapati dirinya semakin kerdil. Si kerdil berkawan sepi.
Hari ini ada pertandingan Persija. Gue cuma pengen ngulang moment itu.... batin Arman lirih.
”Arman, nih makanan lo. Udah beli tapi nggak dimakan.” Seseorang yang tadi makan siang bersamanya
tiba-tiba menaruh kantung plastik di meja Arman.
Arman sedikit kaget. Jam di
komputernya sudah menunjukkan pukul satu lewat sepuluh menit.
Perlahan Arman membuka
bungkusan itu. Ternyata seporsi daging rendang dan nasi pesanannya di warung
padang tadi.
“Tadi sengaja gue minta
abangnya bungkusin buat lo. Sayang
kalo nggak dimakan. Bisa sakit lo nanti.” lanjutnya sambill nyengir.
“Oh, iya. Makasih ya.” Arman
balas nyengir.
Arman sama sekali tidak
menyangka ada orang lain yang begitu perhatian padanya selain tiga sahabatnya.
Dengan senang hati dibukanya bungkusan itu lalu dilahapnya dengan segera.
Mengingat jam isitrahat sudah habis.
Sejenak, ia lupa akan chat dengan sahabat-sahabatnya. Satu hal
lagi yang baru Arman sadari, selama ini ia terkungkung dalam dunia yang sempit.
Dunia yang isinya hanya tiga sahabatnya. Tak pernah peduli dengan kehidupan
orang lain yang sebenarnya menawarkan banyak warna untuk hidupnya. Arman seolah lupa dengan siklus ’datang
& pergi’. Ketika manusia dipertemukan satu sama lain, mereka sering lupa
bahwa pada akhirnya mereka akan berpisah.
”Ya udah nggak apa-apa kalo
pada nggak bisa. Nggak ada yang penting, kok. Gue cuma kangen, pengen ngumpul. Sukses
ya buat lo semua.” Sama
seperti Ferdy, Arman menutup chat di
grup dengan emot senyum.
Arman kini paham. Tidak ada alasan untuk merasa kesepian. Semua orang di kantor itu adalah teman. Ia tidak akan membiarkan dirinya kian
membusuk dalam kesepian. Kesepian yang lahir dari cerita yang hilang. Cerita
yang kini hanya menjadi kenangan.
**********