Pukul tujuh lewat sepuluh menit. Aku baru saja berhasil melewati
sergahan Pak Supri, penjaga sekolahku yang bertugas menutup gerbang
sekolah setelah lonceng tanda belajar dimulai berbunyi. Artinya
siswa yang datang terlambat dipastikan tidak boleh melewati gerbang
tersebut, apapun alasannya. Dan pagi ini sepertinya aku menjadi
satu-satunya siswa yang terlambat
Seperti biasa, suap-menyuap adalah
cara paling ampuh untuk meloloskan diri dari situasi seperti ini. Ya,
seperti yang sering terjadi di pemerintahan negaraku yang tercinta ini.
Aku terpaksa berbagi uang jajan dengan Pak Supri demi bisa masuk ke
dalam sekolah.
“Sial....!” gerutuku dalam hati.
Aku masih tidak terima karena harus kehilangan
separuh uang jajanku sepagi ini.
Kupercepat
langkahku menyusuri koridor sekolah yang sudah lengang dan sepi. Tidak
kutemukan satu pun siswa yang masih gentayangan di luar kelas. Malas
sekali rasanya kalau sudah seperti ini, aku harus meyiapkan alasan atas
keterlambatanku. Alasan karena angkot yang ku tumpangi ngetem terlalu
lama tidaklah masuk akal untuk Pak Sarman, guru matematika ku yang
paling “baik sekali” (ya, baiknya hanya sekali di pertemuan pertama
saja). Dapat kupastikan bahwa saat ini beliau sedang bercuap-cuap di
depan kelas tentang ilmu hitung-menghitung tersebut. Aku juga bisa
memastikan teman-teman seperjuanganku di dalam kelas saat ini pasti
sedang mengalami stress tingkat tinggi akibat “khutbah” supernya Pak
Sarman.
Aku semakin malas membayangkan mata pelajaran tersebut
harus menjadi menu sarapan pertama untuk otak ku pagi ini. Tiba-tiba
terpikir dalam benakku untuk berbelok arah dari koridor menuju kelas
menjadi ke arah kantin. Bersembunyi di balik etalase dan meyamarkan
wajahku diantara deretan gorengan dan kue-kue yang dijajakan oleh ibu
kantin sepertinya ide yang bagus. Toh aku masih bisa masuk kelas jam
setengah sembilan nanti setelah Pak Sarman tutup buku dan keluar dari
kelas. Jadi Suapanku kepada Pak
Supri tidak terlalu sia-sia.
Dan,
Yes! Otak, hati dan kaki ku tampaknya sudah kompak. Langkah kakiku
melambat, aku berjalan menuju kantin sambil mengendap-ngendap seperti
maling. Untuk pertama kalinya sepanjang hidupku aku merasa senasib dan
sepenanggungan dengan maling yang berusaha membuat dirinya tak terlihat
oleh siapapun demi keselamatan dirinya. Ahh... tapi aku tidak peduli
karena aku bukan maling. Aku juga tidak peduli dengan rumus-rumus
matematika dari Pak Sarman yang merupakan mata pelajaran paling tidak
kusukai semenjak aku dilahirkan kedunia, hingga sekarang. Dan satu lagi,
aku tidak peduli walaupun ujian kelulusan hanya tinggal dua bulan.
Semua orang di sekolah ini tahu bahwa aku tidak pernah peduli dengan
kelulusan. Selama aku masih bernapas, aku akan menikmati hidup dengan
caraku sendiri.
Setelah melalui sedikit perjuangan yang
mendebarkan dengan mengendap-ngendap akhirnya pantatku bisa mendarat
dengan selamat di bangku kantin. Tepatnya di belakang etalase kantin
seperti yang kubayangkan sebelumnya.
Aku mengedarkan pandangan sejenak untuk memastikan bahwa tidak ada orang yang melihatku di sini.
Sipp!
Tidak ada orang, hanya ada ibu kantin yang sedang membersihkan piring
dan sendok di atas meja dekat etalase, tepatnya di samping tempat ku
duduk sekarang. Lega rasanya. Di belakang tempat duduk ku terdapat dapur
kantin yang lumayan luas. Aku mendengar suara air keran mengucur deras
dari dalam dapur, sepertinya ada seseorang yang sedang mencuci sesuatu
disana.
“Ehh nak Vian... kok ndak masuk kelas, Ndo?” tanya ibu kantin kepadaku dengan aksen jawanya yang medok.
“Gak
ah, saya males ngikutin pelajarannya Pak Sarman. Saya mau di sini aja
sampai pelajaran Pak Sarman di kelas selesai,” jawabku malas.
”Oalaahh... Nak Vian
iki piye toh?
Kalau ketahuan kepala sekolah Ibu juga nanti yang dimarahi. Lagi pula
kalau hanya duduk di sini nak Vian mau belajar apa? Sayang uang
sekolahmu, Nak”
”Udah tenang aja Bu, gak bakal ketahuan sama
siapa-siapa kok,” jawabku ngeyel. Sekali lagi aku tidak peduli dengan
nasehat ibu kantin tentang uang sekolahku. Itu urusan orang tuaku bukan
urusan ibu kantin.
Aku mencari sesuatu di dalam tas yang bisa kujadikan mainan selama aku duduk disini. Ah...
Handphone mungkin bisa menjadi teman baikku saat ini, pikirku. Aku segera mengeluarkannya dari saku celana lalu login ke facebook.
Ibu kantin hanya geleng-geleng kepala melihat tingkahku yang tidak memperdulikan ucapannya.
”Ya
sudah kalau begitu. Tapi harus beli jajanan ibu, kalau tidak ibu akan
lapor ke kepala sekolah.” Ibu kantin mengancamku dengan nada bercanda.
Aku tertawa kecil mendengar ancamannya yang terdengar lucu di telingaku.
”Pesen teh manis hangat aja ya Bu,” Pintaku tanpa mengalihkan pandangan dari beranda Facebook.
”Cahyuu...
tolong buatkan teh manis hangat untuk mas Vian yoo.” Ibu kantin
memanggil seseorang yang berada di dapur untuk membuatkan teh manis
pesananku.
Cahyuu..? setahuku, biasanya Ibu kantin memanggil Mas
Ano untuk membantunya. Ah sudahlah... siapapun itu, bukan urusanku.
Untuk kesekian kalinya aku tidak peduli. Dan suara air keran dari dalam
dapur kini tidak kudengar lagi dan... aku tidak peduli. Aku hanya peduli
dengan
handphone yang ada di tanganku.
Aku masih asyik dengan
handphone blackberry-ku
saat seseorang berjalan mendekatiku. Tanpa melihatnya aku sudah bisa
menebak bahwa dia adalah perempuan yang dipanggil ’cahyu’ oleh ibu
kantin tadi.
”Permisi, Mas.... ini teh manisnya.” Si cahyu
meletakan teh manis pesananku di atas meja. Suaranya terdengar begitu
sopan dan lembut.
Entah, seperti ada sesuatu yang memaksa
saraf-saraf di mataku untuk beralih pandang dari layar Blackberry menuju
wajah si pemilik suara lembut itu. Sontak, mataku terbelalak melihat
wajahnya.
“Cantik!” Kata pertama yang keluar dari mulutku tanpa ku suruh. Kata itu meluncur begitu saja.
Senyum
manis terukir indah dari wajah cantik si cahyu karena celoteh asal dari
mulutku. Kerudung hitam membalut kulit wajahnya yang putih dan halus,
berhiaskan manik-manik kecil berkilauan senada dengan switer hijau muda
yang melekat sempurna pada tubuh ramping menebar wangi kesturi bak
bidadari suci utusan Tuhan.
“Siapakah gerangan?” tanyaku dalam hati.
Saat
aku menatapnya, binar dimatanya kurasakan begitu lembut merasuk kedalam
relung hatiku. Oh.. Tuhan aku ingin sekali mengenalnya. Aku ingin tahu
namanya.
Ribuan kata-kata puitis pun kini berterbangan,
berputar-putar diatas kepalaku. Membawa ruh ku pergi jauh dari sini,
menuju suatu tempat yang tidak pernah aku kunjungi sebelumnya, suatu
tempat yang disebut dunia khayal. Ya, aku berkhayal tentang si cahyu.
Aku berkhayal bahwa si cahyu adalah bidadari yang diutus oleh Tuhan
untuk ku.
Mataku... Ahh mataku seperti terhipnotis. Mataku tidak
henti-hentinya memandangi tubuh ramping si cahyu saat ia melenggang
dengan anggun menjauhi tempat dudukku lalu menghilang di balik tembok
dapur. Mataku masih tak berkedip walau hanya tembok dapur yang bisa
kulihat. Suara air keran yang tadi sempat menghilang kini terdengar
lagi. Si cahyu pasti sedang mencuci piring, sendok, panci atau... apapun
itu, aku yakin apapun yang dia lakukan di balik tembok itu, dia pasti
melakukannya dengan anggun.
**********
Pukul sembilan
lewat lima belas menit. Aku menghampiri si cahyu ke dapur. Sesuai
dugaanku, ia tetap anggun meskipun sedang berjibaku dengan alat-alat
dapur yang sangat merepotkannya. Aku berjalan mendekatinya dengan
perlahan. Si cahyu menoleh kearahku.
”
Iki mas Vian
yo?
Ono opo, Mas?” tanya si cahyu sambil berjalan mendekatiku.
Bibirnya
melengkung membentuk seulas senyum manis bak gula jawa. Matanya, suara
lembutnya, aduhaaii... aku seperti sedang berhadapan dengan seorang
bidadari. Kecantikannya memabukanku, kakiku melayang hingga kepalaku
hampir beradu dengan atap dapur yang kumel.
”Cahyuu... aku jatuh cinta padamu. Maukah kau menjadi pacarku?”
”Iyoo mas, aku mau.”
Oh
Tuhan... tubuhku terasa ringan sekali, dadaku sesak seperti ada balon
gas yang siap meledak di dalamnya, lidahku kelu tak mampu berkata-kata
lagi. Si cahyu memelukku erat sekali seakan tak mau aku melepaskan
pelukannya. Setelah beberapa saat tenggelam dalam pelukanku, aku
melepaskannya perlahan. Wajahnya kini berada begitu dekat di depan
mataku, lalu kukecup keningnya lembut sekali.
Tak berhenti sampai
disitu, bibirku terus berkeliaran dengan bebas di seputar wajah si
cahyu. Menyapu setiap inchi pori-pori kulit wajahnya yang putih dan
mulus. Kini bibirku dengan bibirnya hanya berjarak nol koma sekian
inchi, bibir kami hampir bersentuhan, sedikit lagi... lagi... dan....
”Aaarghh....
Damned!!!” Aku berteriak spontan saat sebatang kapur tulis tiba-tiba melayang dengan kecepatan yang luar biasa mengenai jidatku.
Suara
cekikikan dari teman-teman sekelas membuatku salting. Mereka
mentertawakanku, membuatku seperti seorang idiot yang berasal dari
planet antah berantah.
Ibu Mia, guru biologi sedang berdiri tegak
di depanku dengan menyilangkan kedua tangannya di dada. Matanya melotot
tajam seperti macan yang siap menerkan mangsanya. Di jidat Ibu Mia
seolah-olah aku membaca tulisan ”KILLER!!”.
Aku baru ingat
beberapa menit yang lalu aku masuk kedalam kelas setelah mendengar
lonceng tanda pelajaran pertama dari Pak Sarman sudah selesai. Kemudian
aku tenggelam dalam lamunanku tentang si cahyu. Jlebb..!
”KEDEPAN...!” suara Bu Mia mengaum keras seperti jurus auman singa dalam film Kungfu Hustle yang dibintangi oleh Steven Chow.
Well...
Aku berdiri lalu berjalan kedepan kelas dengan langkah gontai. Ibu Mia
menyuruhku berdiri di depan kelas karena bengong saat dia sedang
ber-”khutbah”. Khayalan tentang si cahyu rupanya harus berakhir disni.
Kahayalan konyol untuk siswa kelas tiga SMA sepertiku.