Sesederhana apapun cerita hidup yang kita alami, akan menjadi sebuah cerita menarik bagi orang lain apabila kita pandai mengolah kata saat menceritakannya.

Sahabat (#FiksiLaguku tantangan @kampusFiksi)

“Lo itu ibarat kacang lupa sama kulit. Apa gue harus minta sama Tuhan untuk mengambil semua yang udah lo miliki sekarang? Supaya lo sadar apa yang lo miliki sekarang ga lebih berarti dari seorang sahabat”
Kalimat terakhir yang keluar dari mulut Jena seakan-akan menamparku dengan

#KarakterJahat tantangan @KampusFiksi

Oleh: @Amad_Kocil


Aku berjalan dengan langkah gontai menuruni tangga rumahku menuju ruang tamu demi menuruti perintah ibuku untuk menjaga si idiot kesayangan semua orang dirumah ini, kecuali aku. Padahal malam ini seharusnya aku berada bersama teman-temanku menonton konser band favoritku yang sudah lama sekali ku tunggu namun terpaksa aku batalkan karena ibu melarangku dan mengurungku dirumah ini bersama seorang idiot
menyebalkan yang saat ini

Senyum Bidadari Berkerudung Hitam Di Kantin Sekolahku

Pukul tujuh lewat sepuluh menit. Aku baru saja berhasil melewati sergahan Pak Supri, penjaga sekolahku yang bertugas menutup gerbang sekolah setelah lonceng tanda belajar dimulai berbunyi. Artinya siswa yang datang terlambat dipastikan tidak boleh melewati gerbang tersebut, apapun alasannya. Dan pagi ini sepertinya aku menjadi satu-satunya siswa yang terlambat
Seperti biasa, suap-menyuap adalah cara paling ampuh untuk meloloskan diri dari situasi seperti ini. Ya, seperti yang sering terjadi di pemerintahan negaraku yang tercinta ini. Aku terpaksa berbagi uang jajan dengan Pak Supri demi bisa masuk ke dalam sekolah.

“Sial....!” gerutuku dalam hati.

Aku masih tidak terima karena harus kehilangan
separuh uang jajanku sepagi ini.

Kupercepat langkahku menyusuri koridor sekolah yang sudah lengang dan sepi. Tidak kutemukan satu pun siswa yang masih gentayangan di luar kelas. Malas sekali rasanya kalau sudah seperti ini, aku harus meyiapkan alasan atas keterlambatanku. Alasan karena angkot yang ku tumpangi ngetem terlalu lama tidaklah masuk akal untuk Pak Sarman, guru matematika ku yang paling “baik sekali” (ya, baiknya hanya sekali di pertemuan pertama saja). Dapat kupastikan bahwa saat ini beliau sedang bercuap-cuap di depan kelas tentang ilmu hitung-menghitung tersebut. Aku juga bisa memastikan teman-teman seperjuanganku di dalam kelas saat ini pasti sedang mengalami stress tingkat tinggi akibat “khutbah” supernya Pak Sarman.

Aku semakin malas membayangkan mata pelajaran tersebut harus menjadi menu sarapan pertama untuk otak ku pagi ini. Tiba-tiba terpikir dalam benakku untuk berbelok arah dari koridor menuju kelas menjadi ke arah kantin. Bersembunyi di balik etalase dan meyamarkan wajahku diantara deretan gorengan dan kue-kue yang dijajakan oleh ibu kantin sepertinya ide yang bagus. Toh aku masih bisa masuk kelas jam setengah sembilan nanti setelah Pak Sarman tutup buku dan keluar dari kelas. Jadi Suapanku kepada Pak
Supri tidak terlalu sia-sia.

Dan, Yes! Otak, hati dan kaki ku tampaknya sudah kompak. Langkah kakiku melambat, aku berjalan menuju kantin sambil mengendap-ngendap seperti maling. Untuk pertama kalinya sepanjang hidupku aku merasa senasib dan sepenanggungan dengan maling yang berusaha membuat dirinya tak terlihat oleh siapapun demi keselamatan dirinya. Ahh... tapi aku tidak peduli karena aku bukan maling. Aku juga tidak peduli dengan rumus-rumus matematika dari Pak Sarman yang merupakan mata pelajaran paling tidak kusukai semenjak aku dilahirkan kedunia, hingga sekarang. Dan satu lagi, aku tidak peduli walaupun ujian kelulusan hanya tinggal dua bulan. Semua orang di sekolah ini tahu bahwa aku tidak pernah peduli dengan kelulusan. Selama aku masih bernapas, aku akan menikmati hidup dengan caraku sendiri.

Setelah melalui sedikit perjuangan yang mendebarkan dengan mengendap-ngendap akhirnya pantatku bisa mendarat dengan selamat di bangku kantin. Tepatnya di belakang etalase kantin seperti yang kubayangkan sebelumnya.

Aku mengedarkan pandangan sejenak untuk memastikan bahwa tidak ada orang yang melihatku di sini.

Sipp! Tidak ada orang, hanya ada ibu kantin yang sedang membersihkan piring dan sendok di atas meja dekat etalase, tepatnya di samping tempat ku duduk sekarang. Lega rasanya. Di belakang tempat duduk ku terdapat dapur kantin yang lumayan luas. Aku mendengar suara air keran mengucur deras dari dalam dapur, sepertinya ada seseorang yang sedang mencuci sesuatu disana.

“Ehh nak Vian... kok ndak masuk kelas, Ndo?” tanya ibu kantin kepadaku dengan aksen jawanya yang medok.

“Gak ah, saya males ngikutin pelajarannya Pak Sarman. Saya mau di sini aja sampai pelajaran Pak Sarman di kelas selesai,” jawabku malas.

”Oalaahh... Nak Vian iki piye toh? Kalau ketahuan kepala sekolah Ibu juga nanti yang dimarahi. Lagi pula kalau hanya duduk di sini nak Vian mau belajar apa? Sayang uang sekolahmu, Nak”

”Udah tenang aja Bu, gak bakal ketahuan sama siapa-siapa kok,” jawabku ngeyel. Sekali lagi aku tidak peduli dengan nasehat ibu kantin tentang uang sekolahku. Itu urusan orang tuaku bukan urusan ibu kantin.

Aku mencari sesuatu di dalam tas yang bisa kujadikan mainan selama aku duduk disini. Ah... Handphone mungkin bisa menjadi teman baikku saat ini, pikirku. Aku segera mengeluarkannya dari saku celana lalu login ke facebook.

Ibu kantin hanya geleng-geleng kepala melihat tingkahku yang tidak memperdulikan ucapannya.

”Ya sudah kalau begitu. Tapi harus beli jajanan ibu, kalau tidak ibu akan lapor ke kepala sekolah.” Ibu kantin mengancamku dengan nada bercanda.

Aku tertawa kecil mendengar ancamannya yang terdengar lucu di telingaku.

”Pesen teh manis hangat aja ya Bu,” Pintaku tanpa mengalihkan pandangan dari beranda Facebook.

”Cahyuu... tolong buatkan teh manis hangat untuk mas Vian yoo.” Ibu kantin memanggil seseorang yang berada di dapur untuk membuatkan teh manis pesananku.

Cahyuu..? setahuku, biasanya Ibu kantin memanggil Mas Ano untuk membantunya. Ah sudahlah... siapapun itu, bukan urusanku. Untuk kesekian kalinya aku tidak peduli. Dan suara air keran dari dalam dapur kini tidak kudengar lagi dan... aku tidak peduli. Aku hanya peduli dengan handphone yang ada di tanganku.

Aku masih asyik dengan handphone blackberry-ku saat seseorang berjalan mendekatiku. Tanpa melihatnya aku sudah bisa menebak bahwa dia adalah perempuan yang dipanggil ’cahyu’ oleh ibu kantin tadi.

”Permisi, Mas.... ini teh manisnya.” Si cahyu meletakan teh manis pesananku di atas meja. Suaranya terdengar begitu sopan dan lembut.

Entah, seperti ada sesuatu yang memaksa saraf-saraf di mataku untuk beralih pandang dari layar Blackberry menuju wajah si pemilik suara lembut itu. Sontak, mataku terbelalak melihat wajahnya.

“Cantik!” Kata pertama yang keluar dari mulutku tanpa ku suruh. Kata itu meluncur begitu saja.
Senyum manis terukir indah dari wajah cantik si cahyu karena celoteh asal dari mulutku. Kerudung hitam membalut kulit wajahnya yang putih dan halus, berhiaskan manik-manik kecil berkilauan senada dengan switer hijau muda yang melekat sempurna pada tubuh ramping menebar wangi kesturi bak bidadari suci utusan Tuhan.

“Siapakah gerangan?” tanyaku dalam hati.

Saat aku menatapnya, binar dimatanya kurasakan begitu lembut merasuk kedalam relung hatiku. Oh.. Tuhan aku ingin sekali mengenalnya. Aku ingin tahu namanya.

Ribuan kata-kata puitis pun kini berterbangan, berputar-putar diatas kepalaku. Membawa ruh ku pergi jauh dari sini, menuju suatu tempat yang tidak pernah aku kunjungi sebelumnya, suatu tempat yang disebut dunia khayal. Ya, aku berkhayal tentang si cahyu. Aku berkhayal bahwa si cahyu adalah bidadari yang diutus oleh Tuhan untuk ku.

Mataku... Ahh mataku seperti terhipnotis. Mataku tidak henti-hentinya memandangi tubuh ramping si cahyu saat ia melenggang dengan anggun menjauhi tempat dudukku lalu menghilang di balik tembok dapur. Mataku masih tak berkedip walau hanya tembok dapur yang bisa kulihat. Suara air keran yang tadi sempat menghilang kini terdengar lagi. Si cahyu pasti sedang mencuci piring, sendok, panci atau... apapun itu, aku yakin apapun yang dia lakukan di balik tembok itu, dia pasti melakukannya dengan anggun.

**********

Pukul sembilan lewat lima belas menit. Aku menghampiri si cahyu ke dapur. Sesuai dugaanku, ia tetap anggun meskipun sedang berjibaku dengan alat-alat dapur yang sangat merepotkannya. Aku berjalan mendekatinya dengan perlahan. Si cahyu menoleh kearahku.

Iki mas Vian yo? Ono opo, Mas?” tanya si cahyu sambil berjalan mendekatiku.

Bibirnya melengkung membentuk seulas senyum manis bak gula jawa. Matanya, suara lembutnya, aduhaaii... aku seperti sedang berhadapan dengan seorang bidadari. Kecantikannya memabukanku, kakiku melayang hingga kepalaku hampir beradu dengan atap dapur yang kumel.

”Cahyuu... aku jatuh cinta padamu. Maukah kau menjadi pacarku?”

”Iyoo mas, aku mau.”

Oh Tuhan... tubuhku terasa ringan sekali, dadaku sesak seperti ada balon gas yang siap meledak di dalamnya, lidahku kelu tak mampu berkata-kata lagi. Si cahyu memelukku erat sekali seakan tak mau aku melepaskan pelukannya. Setelah beberapa saat tenggelam dalam pelukanku, aku melepaskannya perlahan. Wajahnya kini berada begitu dekat di depan mataku, lalu kukecup keningnya lembut sekali.

Tak berhenti sampai disitu, bibirku terus berkeliaran dengan bebas di seputar wajah si cahyu. Menyapu setiap inchi pori-pori kulit wajahnya yang putih dan mulus. Kini bibirku dengan bibirnya hanya berjarak nol koma sekian inchi, bibir kami hampir bersentuhan, sedikit lagi... lagi... dan....

”Aaarghh.... Damned!!!” Aku berteriak spontan saat sebatang kapur tulis tiba-tiba melayang dengan kecepatan yang luar biasa mengenai jidatku.

Suara cekikikan dari teman-teman sekelas membuatku salting. Mereka mentertawakanku, membuatku seperti seorang idiot yang berasal dari planet antah berantah.

Ibu Mia, guru biologi sedang berdiri tegak di depanku dengan menyilangkan kedua tangannya di dada. Matanya melotot tajam seperti macan yang siap menerkan mangsanya. Di jidat Ibu Mia seolah-olah aku membaca tulisan ”KILLER!!”.

Aku baru ingat beberapa menit yang lalu aku masuk kedalam kelas setelah mendengar lonceng tanda pelajaran pertama dari Pak Sarman sudah selesai. Kemudian aku tenggelam dalam lamunanku tentang si cahyu. Jlebb..!

”KEDEPAN...!” suara Bu Mia mengaum keras seperti jurus auman singa dalam film Kungfu Hustle yang dibintangi oleh Steven Chow.

Well... Aku berdiri lalu berjalan kedepan kelas dengan langkah gontai. Ibu Mia menyuruhku berdiri di depan kelas karena bengong saat dia sedang ber-”khutbah”. Khayalan tentang si cahyu rupanya harus berakhir disni. Kahayalan konyol untuk siswa kelas tiga SMA sepertiku.

#DerskripsiSetting Tantangan @KampusFIksi

Oleh : @Amad_Kocil


Randi bersama kedua adik perempuannya Airin dan Aurel, hanya bisa tertegun mendapati rumah masa kecil mereka yang kini tampak usang dan tak bertuan. Pohon beringin yang berdiri kokoh disamping rumah mereka menumpahkan daun-daunnya yang mulai menguning diatas genteng. Rumput-rumput liar berwarna hijau tua tumbuh semaunya bersama tumpukan sampah yang berserakan
dimana-dimana memenuhi halaman rumah tempat ia bermain bersama ayahnya dulu. Pagar besi disekeliling halaman rumah yang dulu

Lomba Menulis #BerguruPadaTokohMuslim - Taburi Harimu Dengan Salam


Oleh : @Amad_Kocil

Afsus Salam Bainakum
"Tebarkanlah salam diantara kalian”
(mahfudzot)


Dear brotha and sistah seiman & setaqwa...
Tahu ga sih dahulu kala ada seorang sahabat Rosululloh SAW bernama Abu Bakar Ashidiq As, beliau memiliki kebiasaan yang bisa di bilang sangat unik. setiap pagi beliau pergi ke pasar, bukan untuk belanja ataupun berjualan, tapi sekedar menyapa orang-orang yang ada di pasar dengan ucapan
"assalamu'alaikum" dan itu dilakukannya semata-mata hanya karena beliau ingin