Sesederhana apapun cerita hidup yang kita alami, akan menjadi sebuah cerita menarik bagi orang lain apabila kita pandai mengolah kata saat menceritakannya.

RESOLUSI

Oleh: @Amad_Kocil


Egi menunduk. Menatap jemarinya yang saling terpaut. Sesekali ia meremas jarinya, lalu megembuskan napas dengan kasar, meratapi hidupnya yang sudah satu tahun ini ia habiskan di atas kursi roda. Di belakangnya, berdiri seorang gadis berambut pendek keriting namun memiliki paras yang lumayan cantik. Gadis itu bernama Laras, adik semata wayangnya. Ia berjalan dengan sangat hati-hati sambil mendorong kursi roda yang dipakai Egi. Menikmati pemandangan indah di sekitar halaman rumahnya.

"Hari pertama di tahun ini tampak sama. Tidak ada yang berbeda dengan hari-hari sebelumnya." Egi mengangkat dagunya lalu memandang sekeliling.

Laras mendengarkan kakaknya dengan penuh perhatian.

"Kakak yakin, semua orang merasakan hal yang sama dengan kakak," lanjut Egi. "Perayaan kembang api hanyalah pesta pora semata. Setelah itu, mereka kembali menjalani aktivitasnya seperti biasa. Resulosi yang mereka ucapkan hanyalah bualan belaka."

"Kenapa begitu, Kak?" Laras bertanya.

"Banyak orang nenargetkan resolusi yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Resolusi yang diulang-ulang. Itu berarti mereka hanya bicara saja, tidak ada bukti. Tidak ada pencapaian sama sekali. Apa namanya kalau bukan membual?"

Laras memperlambat langkahnya. Lalu berhenti di depan sebuah bangku kayu yang di kiri dan kanannya terdapat bunga-bungaan hasil tanaman Ibunya. Halaman rumah mereka memang sengaja dibuat luas demi memenuhi hobi Sang Ibu terhadap bunga-bungaan.

Laras kini duduk di bangku kayu itu, saling berhadapan dengan kakaknya.

"Tidak semua orang seperti itu, Kak. " Laras  berkata lembut. "Ada juga sebagian orang yang berhasil mencapai resolusinya. Dengan kerja keras tentunya. Contohnya aku." Laras menunjuk dirinya sendiri yang sukses mendapat beasiswa kuliah S1 di New York. Sejak tiga hari lalu Laras pulang ke Jakarta untuk merayakan tahun baru. Ia baru akan kembali ke New York tiga hari kemudian.

Egi menggeleng sambil menyunggingkan seulas senyum kepada Laras. "Kamu itu pada dasarnya memang pinter, Laras. Aku ini kakakmu. Aku tahu itu. Lagi pula, dari semua orang yang kakak kenal, sepertinya cuma kamu yang benar-benar beresolusi. Yang lainnya hanya membual, seperti yang kakak bilang tadi."

"Kak Amira juga. Tahun kemarin dia sukses launching novel perdananya. " Laras menatap wajah tirus kakaknya yang kini tampak sedikit pucat. Sekilas ada rasa prihatin menjalar dalam dadanya.

"Kakak tidak mau seperti Kak Amira?" tanya Laras kemudian, mengingatkan resolusi kakaknya setahun yang lalu.

Egi membuang pandangan. Senyum di wajahnya bias. Dibiarkannya angin pagi membelai rambutnya yang mulai memanjang menutupi daun telinga. Ada sesuatu yang menusuk ulu hatinya ketika mendengar nama Amira. Sahabatnya dulu yang kini bermetamorfosis menjadi orang paling menyebalkan baginya.

"Kak...," Laras menggenggam tangan Egi, lembut, "kakak masih marah sama Kak Amira? Udah setahun lho, Kak. " Laras seolah tahu apa yang terbesit dalam pikiran kakaknya itu.

Egi bergeming, tidak tertarik untuk menjawab pertanyaan Laras.

"Dulu kalian berjuang bersama-sama untuk mewujudkan cita-cita jadi penulis, tapi sekarang kakak melupakan cita-cita itu begitu saja. Kakak tidak mau mengikuti jejak Kak Amira? Ayolah, Kak...," kata Laras setengah memohon.

"Mengikuti jejak orang yang lupa diri setelah merasa sukses, hingga lupa dengan janji yang keluar dari mulutnya sendiri," Egi balas menatap Laras. "Untuk apa?" Egi menyunggingkan senyum kecut.

"Untuk membuktikan kalau resolusi kakak bukan bualan semata. Laras tidak mau punya kakak seorang pembual." Suara Laras pelan namun tegas, lebih tepatnya jawaban Laras terdengar seperti sebuah perintah. Tiba-tiba dan tak terduga.

"Kakak masih punya banyak waktu untuk mewujudkan cita-cita kakak. Setidaknya, sekali dalam seumur hidup, Kak...." Laras menambahkan. Ia memberi penekanan serius ketika mengucapkan kalimat 'sekali dalam seumur hidup'.

Egi terkesiap. Sama sekali tidak menyangka adiknya akan berkata seperti itu. Ia menatap gadis muda di hadapannya itu dengan tatapan kosong. Pikirannya seolah menghilang, mengelana, menelusuri memori setahun lalu, saat di mana semangatnya masih menggebu, seolah tidak ada satupun hal di dunia ini yang mampu menciutkan semangatnya kecuali kematian.

*****

Ledakan kembang api membuncah di udara. Membuat langit Jakarta malam itu tampak benderang, ramai dan gaduh. Sisa ledakannya membentuk kerlap-kerlip penuh warna. Orang-orang di bawahnya berteriak girang, tertawa dan bertepuk tangan, lalu terdengar kalimat selamat tahun baru diucapkan dengan serempak, diselingi tiupan terompet yang memekakan telinga. Malam itu Monas menjadi lautan manusia yang berpesta pora demi sebuah perayaan.

Egi bersama Laras dan Amira pun larut dalam kemeriahan pesta malam itu. Selama kurang lebih satu jam, sejauh mata memandang hanya ledakan kembang api yang terlihat di sana-sini. Lalu pada jam-jam berikutnya mereka berkeliling menyusuri setiap sudut keramaian. Mereka berniat akan menghabiskan malam itu untuk bersenang-senang. Mengingat minggu depan Amira akan meninggalkan Jakarta. Ia akan pindah ke Malang bersama ayahnya. Jadi bisa dibilang perayaan malam tahun baru itu merupakan acara perpisahan Amira dengan Egi dan Laras. Amira sudah bertetangga dengan mereka sejak kecil. Maka tidak heran kalau hubungannya dengan kakak beradik itu begitu dekat.

"Kak, kita ke sana, yuk." Laras menunjuk kerumunan di sudut taman yang menarik perhatiannya.

Egi dan Amira menurut saja lalu beranjak menghampiri tempat yang ditunjuk Laras.

Di sana mereka melihat orang-orang menuliskan sesuatu dalam kertas kecil. Lalu menyerahkannya kepada seorang laki-laki muda yang duduk bersila beralaskan terpal. Laki-laki muda tersebut kemudian membuatkan pin berukuran sebesar tutup galon bertuliskan tulisan para pengunjung dengan ukiran sedemikian rupa, juga dengan berbagai warna. Laras terlihat sangat antusias dengan apa yang dilihatnya.

"Lucu ya, Kak. Kita bikin, yuk!" seru Laras girang.

"Kamu mau nulis apa?" tanya Amira.

Laras menempelkan telunjuk di dagunya, bibirnya monyong, alisnya berkerut, tampak sedang berpikir.

"Nulis cita-cita aja." Egi nyeletuk.

"Maksudnya?" Laras tidak paham.

"Kita pasti punya cita-cita, dong. Nah, cita-cita apa yang ingin kita capai dalam satu tahun ke depan, tulis aja di situ. Terus nanti kita tukeran deh. Tahun depan kita lihat siap yang berhasil. Semacam tantangan. Gimana?" Egi menjelaskan.

"Oke, siapa takut?!" Laras dan Amira langsung setuju, lalu menuliskan apa yang mereka cita-citakan dalam sebuah kertas kecil. Tidak lupa, mereka juga menuliskan nama masing-masing kemudian menyerahkannya kepada laki-laki yang duduk bersila di depan mereka.

"Kak Egi dan Kak Amira pasti samaan." Laras berceloteh saat sedang menunggu pesanannya selesai.

Egi dan Amira saling pandang, seolah saling melempar tanya soal apa yang diucapkan Laras.

"Menerbitkan novel?" tanya Amira pelan.

Egi mengangguk lalu mereka sama-sama tersenyum.

Semasa sekolah, Egi dan Amira memang hobi menulis. Setelah lulus SMA mereka melanjutkan kuliah jurusan sastra di kampus yang sama. Karya mereka kerap kali mejeng di mading kampus, berkali-kali juga mereka bergantian menjuarai lomba kepenulisan yang diadakan oleh kampus. Kemudian setelah lulus kuliah beberapa bulan lalu, mereka sama-sama memutuskan untuk menjadikan menulis sebagai jalan hidup.

"Wah, cita-citamu hebat, Ras," kata Amira setelah pin Laras berada di tangannya.

"Doain ya, Kak, semoga Laras bisa kuliah ke luar negri hehe...."

"Aamiin...." Amira dan Egi mengacak-ngacak rambut Laras lalu mereka tertawa lagi. 

Seminggu setelah malam itu, pagi-pagi sekali Amira bersama ayahnya pamit kepada keluarga Egi. Ada sedikit keharuan di sana, terutama bagi Laras dan Egi. Mereka bertiga tumbuh bersama sejak kecil. Berat bagi Amira untuk meninggalkan semuanya. Tapi demi memenuhi kerinduan Sang Ayah terhadap kampung halamannya, setelah istrinya meninggal beberapa bulan lalu, Amira harus rela meninggalkan rumah masa kecil yang penuh kenangan itu.

Egi menawarkan diri mengantar Amira dan ayahnya ke stasiun kereta. Mereka pun segera meluncur dengan menggunakan taksi. Di perjalanan, Egi dan Amira tak henti-hentinya membicarakan perihal cita-cita, saling betukar nasehat untuk terus berusaha, khayalan-khayalan konyol tentang masa depan dan sebagainya. Kemudian tertawa renyah. Ayah Amira hanya tersenyum sesekali melihat keakraban anaknya itu. Hingga tanpa terasa dua puluh menit kemudian mereka sudah sampai di stasiun kereta.

"Janji ya, tahun depan kita tukeran pin lagi," kata Egi sebelum melepas sahabatnya itu pergi.

"Janji!" Amira mengiyakan. Sorot matanya mengilatkan semangat dan kayakinan yang tinggi. Gadis berwajah princess dengan rambut agak pirang itu menyunggingkan senyum termanisnya sebelum ia benar-benar berlalu dari hadapan Egi.

Janji! Batin Egi mengulang ucapan Amira, lalu bergegas kembali dengan semangat menggebu.

*****

Kamar itu serba putih. Di dalamnya hanya terdapat sebuah ranjang besi beroda empat. Di atas ranjang tersebut, seorang laki-laki muda berbaring dalam keadaan tertidur setelah menjalani operasi. Tubuhnya terkulai tak berdaya. Selembar selimut putih menutupi tubuhnya dari dada hingga kaki. Di dekatnya, dua orang perempuan berwajah muram menemani sosok laki-laki di atas kasur itu. Air mata yang sudah mengering kian membuat wajah mereka muram, menggambarkan duka yang teramat sangat dalam.

Selang beberapa saat, laki-laki itu membuka mata perlahan, wajahnya meringis akibat sakit yang dirasakannya. Ia menyapu pandangan, berusaha mengadaptasikan matanya setelah sekian lama tertidur.

"Bu, Kak Egi udah siuman." Laras menarik tangan ibunya yang tampak lelah.

Perempuan paruh baya itu mendongak, duka di wajahnya sedikit memudar tergantikan senyum bahagia.

"Alhamdulillah, Nak, kamu sudah siuman...," kata Sang Ibu. Kesedihan yang dirasakannya membuat suara ibu serak dan berat. Lalu beliau mengusap tangan Egi lembut penuh kasih sayang.

"Egi di mana, Bu?" Egi menatap ibu dan adiknya bergantian.

"Kamu di rumah sakit, Nak,"

Egi termenung sesaat,  memaksa ingatannya kembali ke saat-saat terakhir sebelum ia kehilangan kesadaran. Perlahan, peristiwa memilukan pagi tadi tiba-tiba tergambar jelas dalam kepalanya. Sepulang mengantar Amira, sebuah truk menghantam taksi yang ditumpanginnya dengan sangat keras tepat pada bagian tempat Egi duduk. Taksi itu terjungkal, dan Egi terpelanting di dalamnya. Kepalanya membentur kaca jendela, kakinya terjepit. Kemudian semuanya gelap. Egi pingsan.

"Sabar ya, Kak, jangan banyak gerak dulu. Kakak masih sakit." Laras mengingatkan.

Tapi Egi tak menggubris. Ia menggerakkan tubuhnya hendak bangun. Namun tiba-tiba ia meringis lagi, kakinya terasa ringan dan kaku bercampur sakit yang tiada tara. Egi tidak bisa bangkit. Spontan, tangan Egi bergerak meraba kakinya.

Saat itulah Egi mendapat pukulan telak. Ia menyadari, kedua ujung kakinya hanya sampai lutut. Terbungkus perban.

"Kaki Egi kenapa, Bu....?!" Egi berteriak histeris. Lambat laun teriakanya berubah jadi tangisan bersamaan dengan linangan air mata, akibat dihantam kenyataan yang tidak pernah ia bayangkan sepanjang hidupnya.

Egi memekik dalam dekapan ibunya dan Laras. Kemudian hening. Hanya linangan air mata yang mengurai. Menghamburkan butiran duka.

Semenjak itu, Egi berubah drastis. Semangat hidupnya menguap. Hatinya bergejolak. Jiwanya rapuh. Terpukul kenyataan yang memilukan. Hari-harinya kosong. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain membiarkan dirinya terpuruk di atas kursi roda.

Lima bulan kemudian, dua pukulan telak kembali datang bertubi-tubi. Egi mendapat kabar dari Laras bahwa Amira sudah berhasil menerbitkan novel perdananya. Kabar itu tidak didapatnya langsung dari Amira, melainkan karena ketidaksengajaan Laras ketika sedang berada di toko buku. Sebuah novel berjudul Aku, Kau dan Adikmu menarik perhatiannya. Selain tertulis nama Amira, di dalam novel tersebut tertulis nama Egi dan Laras. Laras menunjukkan buku itu kepada Egi untuk menyemangatinya. Namun Egi malah semakin terpuruk. Bukan karena keberhasilan Amira, terlebih karena sahabatnya itu tidak pernah mengiriminya kabar. Hanya dua kali pesan singkat yang ia terima dari Amira. Itu pun hanya ucapan prihatin yang dianggap sekadar basa-basi oleh Egi. Amira seolah tidak peduli dengan keterpurukan yang dialaminya. Kesuksesan telah membuat Amira lupa diri.

Pukulan telak lainnya, bersamaan dengan kabar Amira, Laras berhasil mendapatkan beasiswa ke New York. Laras akan berangkat dua minggu lagi. Itu berarti hidup Egi akan benar-benar kosong. Dua orang yang selalu menemaninya sejak kecil, meninggalkannya satu persatu.

*****

Egi menggenggam pin milik Amira. Satu tahun sudah berlalu sejak pin itu berada di tangannya. Ia teringat kembali akan kebersamaan mereka saat perayaan tahun baru, tawa terakhir mereka di dalam taksi, serta janji yang terucap di ujung perpisahan. Janji yang diingkari. Sesaat, hatinya disapa rindu terhadap Amira. Rindu beraroma kepedihan, berpadu dengan gelap yang memayungi kamarnya sejak berbulan-bulan yang lalu hingga malam ini.

Kau pikir kau sudah hebat? Kau pikir aku tidak bisa sepertimu? Lihatlah, aku akan melebihimu! Egi membatin. Jiwanya dibakar emosi. Diputarnya kursi roda menghampiri ibu dan Laras di ruang tamu yang sedang berbicang tentang kuliah Laras di New York.

Tanpa basi-basi, Egi meminta kepada ibu untuk mengembalikan barang-barang pribadi miliknya. Sejak keluar dari rumah sakit, Egi meminta kamarnya dikosongkan. Sebagian barang-barangnya dibuang, sebagian lagi disimpan oleh ibunya. Termasuk laptop dan buku-buku catatan Egi tentang ide-ide tulisannya.

Sebuah kerdus kini teronggok dihadapan Egi. Ibu dan Laras tampak bingung dengan sikap Egi malam ini. Sesekali keduanya beradu pandang dengan alis mengerut. Setelah musibah yang dialaminya, Egi benar-benar mengasingkan diri. Kamarnya seperti ruangan isolasi para manusia pesakitan. Gelap dan kosong. Sekosong jiwanya.

"Egi membutuhkannya lagi, Bu. Egi mau nulis." Egi seolah paham arti tatapan ibu dan adiknya.

"Alhamdulillah... ibu senang sekali mendengarnya, Nak." Ibu mengusap rambut Egi, penuh kasih sayang. Wajah tuanya tampak berseri, binar di matanya menyiratkan kegembiraan yang teramat sangat. Beliau lalu tersenyum. Senyum yang tidak pernah terbit dari wajah tua itu semenjak Egi keluar dari rumah sakit.

Laras tidak bisa menahan kegembiraannya. Ia memeluk Egi dengan sangat erat. Seperti baru saja menemukan kakaknya yang sekian lama menghilang.

"Laras yakin kakak pasti bisa," kata Laras setengah berbisik. Lalu melepaskan pelukannya.

"Ini semua berkat kamu, Ras. Sekarang kakak sadar, bangkit adalah pilihan terbaik saat kita jatuh."

"Sekali dalam seumur hidup!" kata Egi lagi, ia mengutip ucapan Laras pagi tadi yang berhasil membangunkan kembali tekadnya yang telah lama mati.

Sejak malam itu semangat Egi kembali menggebu. Hari-harinya kini ia habiskan di depan laptop. Bersama coretan-coretan penting buah pemikirnnya dulu. Cita-citanya membuat jiwa Egi kembali hidup. Duka di hatinya perlahan terkikis. Kecacatannya tidak lagi ia anggap sebagai penghalang untuk meraih cita-cita.

Laras sudah kembali ke New York untuk melanjutkan kuliah. Sebelum berangkat, Laras menyerahkan novel beserta pin dari pemilik yang sama. Amira Nurlatif. Semakin lama ia menatap dua benda pemberian Laras itu, semangatnya semakin berkobar.

Kau akan memohon padaku untuk mengakuimu lagi sebagai sahabat, Amira Nurlatif! Batin Egi kembali terbakar.

Tiga bulan kemudian...

Cita-citanya kini sudah di depan mata. Setelah email terkirim ia hanya tinggal berharap semoga kerja kerasnya berbuah manis. Ada puluhan email masuk di inboxnya, tapi Egi tak acuh. Yang ada di benaknya sekarang adalah mengirimkan  tulisannya ke salah satu penerbit yang diincarnya sejak lama. Selesai mengklik send ia hendak logout dan menutup layar laptop. Tapi ada sedikit rasa penasaran yang menggelitiknya.

Perlahan, dibukanya email masuk yang ia terima selama laptopnya dimuseumkan. Semua email  itu dikirim dari satu orang yang sama. Amira Nurlatif.

Amira berkali-kali mengiriminya email. Amira begitu mengkhawtirkan kondisi Egi. Dalam beberapa emailnya Amira juga menceritakan musibah yang dialaminya selama ia di Malang.

Sahabat perempuannya itu mengalami kecelakaan serupa dengan Egi. Parahnya, saat ia terkapar di tengah jalan orang-orang tidak bertanggung jawab malah memanfaatkannya. Semua barang pribadi milik Amira raib. Amira terluka parah hingga mengalami kerusakan ginjal. Pada salah satu email tersebut, Amira tidak lupa mencantukan nomor telepon barunya berharap Egi segera menghubunginya.

Dada Egi sesak bagaikan dihantam benda keras seberat ratusan ton saat matanya membaca email terakhir dari Amira. Titik-titik bening perlahan menjulur di pipinya.


Selamat pagi, sahabatku...
Sampai hari ini aku masih menunggu kabarmu. Semoga kamu baik-baik saja di Jakarta.
Aku ingin memberitahumu, insya alloh sore nanti aku akan menjalani operasi. Mohon doanya, sahabatku. Kamu masih ingat kan dengan janji kita di stasiun dulu. Iya, aku akan menemuimu di Jakarta saat tahun baru nanti.
Pesanku selalu sama. Apapun yang terjadi, bagaimanapun kondisimu sekarang, kamu harus tetap semangat ya. Kutunggu segera kabar baik darimu.

Salam,
Amira Nurlatif.

Egi segera meraih handpone, lalu menghubungi nomor telepon yang tercantum pada salah satu email dari Amira. Teleponnya tersambung dengan seorang laki-laki tua yang suaranya sudah tidak asing lagi di telinga Egi. Dia adalah ayah Amira. Egi tidak mau basa-basi lagi, ia langsung meminta izin untuk berbicara sengan Amira. Namun lagi-lagi, Egi harus menerima kenyataan pahit. Sesak menghunjam, langit-langit kamar seolah ambruk menimpa tubuhnya, udara yang dihirupnya seperti berubah menjadi racun yang mematikan, tubuhnya lemas seketika. Jawaban ayah Amira seketika membuat Egi bungkam dalam tangis yang mendalam.

"Amira sudah meninggal, Nak."

*****