Sesederhana apapun cerita hidup yang kita alami, akan menjadi sebuah cerita menarik bagi orang lain apabila kita pandai mengolah kata saat menceritakannya.

SI KERDIL BERKAWAN SEPI

Oleh: @Amad_Kocil

Mata Arman tak berkedip menatap kosong ke luar jendela. Memerhatikan kendaraan yang berlalu lalang di luar sana, seolah tidak tertarik dengan obrolan ketiga temannya yang duduk satu meja di rumah makan nasi padang, tempat mereka menyantap makan siang di sela jam istirahat kantor. Rendang dan nasi pesanannya masih utuh, tak tersentuh sama sekali. Padahal ia sudah memesannya lebih dari lima belas menit yang lalu. Bahkan ketiga temannya sudah habis melahap pesanan masing-masing. Sekarang mereka asik mengobrol tentang pekerjaan. Sesekali mereka juga membicarakan bos mereka yang super menyebalkan.
Ini kan jam istirahat. Kenapa masih ngomongin pekerjaan, sih? Kenapa selalu membahas hal  yang sama setiap hari? Membosankan! Seandainya....
Arman menghela napas lalu mengembuskannya sedikit demi sedikit hingga kedua pipinya membulat. Nafsu makannya hilang seketika. Rasa bosan sudah cukup membuat perutnya kenyang.
Sebenarnya Arman sudah mencoba menciptakan tema obrolan sendiri yang menurutnya lebih menyenangkan ketimbang membicarakan pekerjaan. Seperti yang ia lakukan bersama tiga sahabatnya dulu. Tapi Arman sadar bahwa yang sedang bersamanya saat ini adalah orang lain. Bukan sahabat-sahabatnya. Mereka sama sekali tidak tertarik dengan obrolan Arman tentang sepak bola, film, shuffle dance dan hal-hal lainya. Arman memilih bungkam dalam kebosanan.
Masih ada sisa setengah jam sebelum jam istirahat berakhir. Arman memutuskan beranjak dari sana dan meminta pelayan membungkuskan segelas jus alpukat kesukaannya. Mungkin di kantor ada obrolan lain yang lebih menarik, pikirnya.
Saat berjalan menuju kantor, Arman berpapasan dengan beberapa anak muda berusia beberapa tahun lebih muda darinya. Mereka mengenakan kaus warna oren lengkap dengan syal serta atribut lain yang menunjukkan identitas mereka sebagai supporter fanatik klub sepak bola asal ibu kota, Persija Jakarta. Mereka adalah Jakmania. Arman mengangkat jempol dan telunjuk—membentuk huruf J—ke arah mereka sambil berteriak ”Sajete” yang artinya salam jempol telunjuk. Salam khas sesama anggota Jakmania. Hari ini pasti ada jadwal pertandingan Persija. Arman jadi teringat moment tak terlupakan bersama tiga sahabatnya dua tahun silam saat nonton tim kesayangannya itu.
Setibanya di kantor, Arman mendapati suasana yang tidak kalah membosankan. Di luar ekspektasinya. Hanya ada segelintir orang di sana. Dua orang karyawati yang asik menonton drama korea di komputer dan empat orang ibu-ibu yang sedang bergosip ria sambil menyantap menu makan siang yang mereka bawa dari rumah masing-masing. Di beberapa ruangan terdengar bunyi printer dan dering telepon bersahut-sahutan. Bukan hal yang aneh bagi Arman. Ruangan itu memang kerap kali bekerja tak kenal waktu. Para karyawannya seolah tidak mempunyai jeda untuk sekadar beristirahat. Loyalitas tanpa balas! Arman bergumam pelan. Sinis. Ia tahu betul gaji yang mereka terima tidaklah sebanding apa yang mereka berikan kepada perusahaan.
Arman duduk terpaku di meja kerjanya. Sesekali ia menyesap jus alpukat yang ia bawa. Cukup untuk menyegarkan tenggorokannya, tapi tidak dengan hatinya yang gersang. Sejak enam bulan lalu, hanya hitam dan putih yang dilihatnya di kantor itu. Gelak tawa dan segala macam keramaian di sana hanya membuatnya semakin kesepian. Ia merasa kehilangan..
Seandainya kalian masih ada, mungkin gue nggak bakal kesepian....
Pikirannya melayang, mengingat tiga sahabatnya yang resign sekitar enam bulan lalu. Diaz, Ferdy dan Shani. Sudah tiga tahun Rehan berkerja di sana. Setiap jeda waktu yang dimilikinya selalu dihabiskan dengan mereka. Membicarakan banyak hal yang selalu berujung tawa. Sering kali mereka menghabiskan waktu istirahat bersama ataupun sepanjang sore selesai kerja. Bercerita tentang cita-cita dan khayalan-khayalan konyol seputar kehidupan. Tidak ada tema kerjaan yang dihubung-hubungkan dalam celotehan mereka. Hanya tiga orang itu yang selalu menerima ide gila yang ada di kepala Arman. Salah satunya adalah dua tahun silam, ketika Arman mengajak mereka meninggalkan kantor pada jam istirahat hingga malam hari hanya untuk menonton Persija Jakarta, tim sepak bola kesayangannya yang hari itu akan berlaga di Senayan menghadapi musuh bebuyutannya, Persib Bandung. Di sana mereka berteriak sesuka hati, memarahi wasit, mencaci maki pemain lawan hingga menyanyikan lagu dukungan untuk timnya. Tak peduli seberapa besar hujan menerpa. Mereka larut dalam kebahagiaan. Kebahagiaan yang lahir dari kebersamaan. Keesokan harinya, masing-masing dari mereka dihadiahi SP oleh HRD dan diancam akan dipecat kalau melakukannya sekali lagi. Hari itu menjadi moment yang tidak akan pernah pudar di dalam ingatan Arman hingga hari ini.
Kebersamaan itulah satu-satunya alasan mereka bertahan bekerja di sana selama bertahun-tahun. Berat untuk meninggalkan satu sama lain. Namun pada akhirnya, takdirlah yang berbicara. Tak dapat dielakkan lagi. Ketika takdir membentangkan jalan yang berbeda kepada mereka, tentu itulah yang terbaik yang harus mereka terima.
Tepat enam bulan lalu, Shani menikah dengan seorang pengusaha. Suaminya tidak mengizinkannya bekerja. Shani menurut kemudian resign. Dua minggu setelahnya, giliran Ferdy yang resign. Berbekal ijazah sarjana jurusan ekonomi, Ferdy melamar pekerjaan ke perusahaan lain yang lebih bonafide. Tidak perlu waktu lama, Ferdy langsung diterima. Lain halnya dengan Diaz. Dua minggu selepas Ferdy, surat pengunduran diri Diaz menyusul ke meja HRD. Melalui pertimbangan yang sangat matang, Diaz lebih memilih untuk melanjutkan kariernya sebagai musisi. Sekarang ia memiliki kesibukan manggung di kafe-kafe Jakarta bersama band-nya dengan bayaran yang lebih tinggi dibanding gajinya selama menjadi karyawan.
Saat itulah, secuil ide gila melintas kembali dalam kepala Arman. Diraihnya handphone yang ia simpan dalam laci meja kerja. Ia browsing sebentar untuk memastikan rencananya. Sip! Batin Arman berteriak. Kemudian segera mengirim pesan singkat kepada tiga sahabatnnya melalui obrolan grup. Arman meminta mereka untuk ketemuan di sebuah kafe kecil dekat kantor tempat biasa mereka nongkrong dulu sepulang kerja. Sekarang juga.
Shani adalah orang pertama yang membalas pesan Arman. Ia tidak bisa datang dengan alasan rencananya terlalu mendadak. Selain itu, sekarang ia dalam kondisi hamil muda. Suaminya tidak akan mengizinkan. Selang beberapa saat, Ferdy dan Diaz membalas secara bersamaan dengan jawaban yang sama. Hari ini Ferdy ada meeting penting yang harus ia hadiri. Sementara Diaz sedang dalam perjalanan ke semarang untuk manggung bersama band-nya. Lalu terjadi chat santai antara Shani, Ferdy dan Diaz. Mereka saling mengapresiasi kesibukan masing-masing. Saling mendukung dan mendoakan.
”Kalian keren! Kalau udah pada sukses, nanti kita renui ya. Saling tuker cerita,” kata Shani dalam chat-nya.
”Jaga kandungan lo, Shan. Kalo anak lo udah lahir, nanti kita nonton Persija bareng-bareng ya. Kayak waktu itu,” balas Ferdy yang diakhiri dengan emot senyum.
Diaz mengamini.
Arman tak berkutik. Ada rasa kesal perlahan menjalar dalam dadanya. Kesal lebih kepada diri sendiri. Sebuah kenyataan yang baru ia sadari, bahwa ketiga sahabatnya sudah menemukan takdirnya masing-masing. Mereka sudah beberapa langkah lebih maju darinya. Sementara Arman kian membusuk dalam kesepian. Ia mendapati dirinya semakin kerdil. Si kerdil berkawan sepi.
Hari ini ada pertandingan Persija. Gue cuma pengen ngulang moment itu.... batin Arman lirih.
”Arman, nih makanan lo. Udah beli tapi nggak dimakan.” Seseorang yang tadi makan siang bersamanya tiba-tiba menaruh kantung plastik di meja Arman.
Arman sedikit kaget. Jam di komputernya sudah menunjukkan pukul satu lewat sepuluh menit.
Perlahan Arman membuka bungkusan itu. Ternyata seporsi daging rendang dan nasi pesanannya di warung padang tadi.
“Tadi sengaja gue minta abangnya bungkusin buat lo. Sayang kalo nggak dimakan. Bisa sakit lo nanti.” lanjutnya sambill nyengir.
“Oh, iya. Makasih ya.” Arman balas nyengir.
Arman sama sekali tidak menyangka ada orang lain yang begitu perhatian padanya selain tiga sahabatnya. Dengan senang hati dibukanya bungkusan itu lalu dilahapnya dengan segera. Mengingat jam isitrahat sudah habis.
Sejenak, ia lupa akan chat dengan sahabat-sahabatnya. Satu hal lagi yang baru Arman sadari, selama ini ia terkungkung dalam dunia yang sempit. Dunia yang isinya hanya tiga sahabatnya. Tak pernah peduli dengan kehidupan orang lain yang sebenarnya menawarkan banyak warna untuk hidupnya. Arman seolah lupa dengan siklus ’datang & pergi’. Ketika manusia dipertemukan satu sama lain, mereka sering lupa bahwa pada akhirnya mereka akan berpisah.
”Ya udah nggak apa-apa kalo pada nggak bisa. Nggak ada yang penting, kok. Gue cuma kangen, pengen ngumpul. Sukses ya buat lo semua.” Sama seperti Ferdy, Arman menutup chat di grup dengan emot senyum.
Arman kini paham. Tidak ada alasan untuk merasa kesepian. Semua orang di kantor itu adalah teman. Ia tidak akan membiarkan dirinya kian membusuk dalam kesepian. Kesepian yang lahir dari cerita yang hilang. Cerita yang kini hanya menjadi kenangan.


**********

RESOLUSI

Oleh: @Amad_Kocil


Egi menunduk. Menatap jemarinya yang saling terpaut. Sesekali ia meremas jarinya, lalu megembuskan napas dengan kasar, meratapi hidupnya yang sudah satu tahun ini ia habiskan di atas kursi roda. Di belakangnya, berdiri seorang gadis berambut pendek keriting namun memiliki paras yang lumayan cantik. Gadis itu bernama Laras, adik semata wayangnya. Ia berjalan dengan sangat hati-hati sambil mendorong kursi roda yang dipakai Egi. Menikmati pemandangan indah di sekitar halaman rumahnya.

"Hari pertama di tahun ini tampak sama. Tidak ada yang berbeda dengan hari-hari sebelumnya." Egi mengangkat dagunya lalu memandang sekeliling.

Laras mendengarkan kakaknya dengan penuh perhatian.

"Kakak yakin, semua orang merasakan hal yang sama dengan kakak," lanjut Egi. "Perayaan kembang api hanyalah pesta pora semata. Setelah itu, mereka kembali menjalani aktivitasnya seperti biasa. Resulosi yang mereka ucapkan hanyalah bualan belaka."

"Kenapa begitu, Kak?" Laras bertanya.

"Banyak orang nenargetkan resolusi yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Resolusi yang diulang-ulang. Itu berarti mereka hanya bicara saja, tidak ada bukti. Tidak ada pencapaian sama sekali. Apa namanya kalau bukan membual?"

Laras memperlambat langkahnya. Lalu berhenti di depan sebuah bangku kayu yang di kiri dan kanannya terdapat bunga-bungaan hasil tanaman Ibunya. Halaman rumah mereka memang sengaja dibuat luas demi memenuhi hobi Sang Ibu terhadap bunga-bungaan.

Laras kini duduk di bangku kayu itu, saling berhadapan dengan kakaknya.

"Tidak semua orang seperti itu, Kak. " Laras  berkata lembut. "Ada juga sebagian orang yang berhasil mencapai resolusinya. Dengan kerja keras tentunya. Contohnya aku." Laras menunjuk dirinya sendiri yang sukses mendapat beasiswa kuliah S1 di New York. Sejak tiga hari lalu Laras pulang ke Jakarta untuk merayakan tahun baru. Ia baru akan kembali ke New York tiga hari kemudian.

Egi menggeleng sambil menyunggingkan seulas senyum kepada Laras. "Kamu itu pada dasarnya memang pinter, Laras. Aku ini kakakmu. Aku tahu itu. Lagi pula, dari semua orang yang kakak kenal, sepertinya cuma kamu yang benar-benar beresolusi. Yang lainnya hanya membual, seperti yang kakak bilang tadi."

"Kak Amira juga. Tahun kemarin dia sukses launching novel perdananya. " Laras menatap wajah tirus kakaknya yang kini tampak sedikit pucat. Sekilas ada rasa prihatin menjalar dalam dadanya.

"Kakak tidak mau seperti Kak Amira?" tanya Laras kemudian, mengingatkan resolusi kakaknya setahun yang lalu.

Egi membuang pandangan. Senyum di wajahnya bias. Dibiarkannya angin pagi membelai rambutnya yang mulai memanjang menutupi daun telinga. Ada sesuatu yang menusuk ulu hatinya ketika mendengar nama Amira. Sahabatnya dulu yang kini bermetamorfosis menjadi orang paling menyebalkan baginya.

"Kak...," Laras menggenggam tangan Egi, lembut, "kakak masih marah sama Kak Amira? Udah setahun lho, Kak. " Laras seolah tahu apa yang terbesit dalam pikiran kakaknya itu.

Egi bergeming, tidak tertarik untuk menjawab pertanyaan Laras.

"Dulu kalian berjuang bersama-sama untuk mewujudkan cita-cita jadi penulis, tapi sekarang kakak melupakan cita-cita itu begitu saja. Kakak tidak mau mengikuti jejak Kak Amira? Ayolah, Kak...," kata Laras setengah memohon.

"Mengikuti jejak orang yang lupa diri setelah merasa sukses, hingga lupa dengan janji yang keluar dari mulutnya sendiri," Egi balas menatap Laras. "Untuk apa?" Egi menyunggingkan senyum kecut.

"Untuk membuktikan kalau resolusi kakak bukan bualan semata. Laras tidak mau punya kakak seorang pembual." Suara Laras pelan namun tegas, lebih tepatnya jawaban Laras terdengar seperti sebuah perintah. Tiba-tiba dan tak terduga.

"Kakak masih punya banyak waktu untuk mewujudkan cita-cita kakak. Setidaknya, sekali dalam seumur hidup, Kak...." Laras menambahkan. Ia memberi penekanan serius ketika mengucapkan kalimat 'sekali dalam seumur hidup'.

Egi terkesiap. Sama sekali tidak menyangka adiknya akan berkata seperti itu. Ia menatap gadis muda di hadapannya itu dengan tatapan kosong. Pikirannya seolah menghilang, mengelana, menelusuri memori setahun lalu, saat di mana semangatnya masih menggebu, seolah tidak ada satupun hal di dunia ini yang mampu menciutkan semangatnya kecuali kematian.

*****

Ledakan kembang api membuncah di udara. Membuat langit Jakarta malam itu tampak benderang, ramai dan gaduh. Sisa ledakannya membentuk kerlap-kerlip penuh warna. Orang-orang di bawahnya berteriak girang, tertawa dan bertepuk tangan, lalu terdengar kalimat selamat tahun baru diucapkan dengan serempak, diselingi tiupan terompet yang memekakan telinga. Malam itu Monas menjadi lautan manusia yang berpesta pora demi sebuah perayaan.

Egi bersama Laras dan Amira pun larut dalam kemeriahan pesta malam itu. Selama kurang lebih satu jam, sejauh mata memandang hanya ledakan kembang api yang terlihat di sana-sini. Lalu pada jam-jam berikutnya mereka berkeliling menyusuri setiap sudut keramaian. Mereka berniat akan menghabiskan malam itu untuk bersenang-senang. Mengingat minggu depan Amira akan meninggalkan Jakarta. Ia akan pindah ke Malang bersama ayahnya. Jadi bisa dibilang perayaan malam tahun baru itu merupakan acara perpisahan Amira dengan Egi dan Laras. Amira sudah bertetangga dengan mereka sejak kecil. Maka tidak heran kalau hubungannya dengan kakak beradik itu begitu dekat.

"Kak, kita ke sana, yuk." Laras menunjuk kerumunan di sudut taman yang menarik perhatiannya.

Egi dan Amira menurut saja lalu beranjak menghampiri tempat yang ditunjuk Laras.

Di sana mereka melihat orang-orang menuliskan sesuatu dalam kertas kecil. Lalu menyerahkannya kepada seorang laki-laki muda yang duduk bersila beralaskan terpal. Laki-laki muda tersebut kemudian membuatkan pin berukuran sebesar tutup galon bertuliskan tulisan para pengunjung dengan ukiran sedemikian rupa, juga dengan berbagai warna. Laras terlihat sangat antusias dengan apa yang dilihatnya.

"Lucu ya, Kak. Kita bikin, yuk!" seru Laras girang.

"Kamu mau nulis apa?" tanya Amira.

Laras menempelkan telunjuk di dagunya, bibirnya monyong, alisnya berkerut, tampak sedang berpikir.

"Nulis cita-cita aja." Egi nyeletuk.

"Maksudnya?" Laras tidak paham.

"Kita pasti punya cita-cita, dong. Nah, cita-cita apa yang ingin kita capai dalam satu tahun ke depan, tulis aja di situ. Terus nanti kita tukeran deh. Tahun depan kita lihat siap yang berhasil. Semacam tantangan. Gimana?" Egi menjelaskan.

"Oke, siapa takut?!" Laras dan Amira langsung setuju, lalu menuliskan apa yang mereka cita-citakan dalam sebuah kertas kecil. Tidak lupa, mereka juga menuliskan nama masing-masing kemudian menyerahkannya kepada laki-laki yang duduk bersila di depan mereka.

"Kak Egi dan Kak Amira pasti samaan." Laras berceloteh saat sedang menunggu pesanannya selesai.

Egi dan Amira saling pandang, seolah saling melempar tanya soal apa yang diucapkan Laras.

"Menerbitkan novel?" tanya Amira pelan.

Egi mengangguk lalu mereka sama-sama tersenyum.

Semasa sekolah, Egi dan Amira memang hobi menulis. Setelah lulus SMA mereka melanjutkan kuliah jurusan sastra di kampus yang sama. Karya mereka kerap kali mejeng di mading kampus, berkali-kali juga mereka bergantian menjuarai lomba kepenulisan yang diadakan oleh kampus. Kemudian setelah lulus kuliah beberapa bulan lalu, mereka sama-sama memutuskan untuk menjadikan menulis sebagai jalan hidup.

"Wah, cita-citamu hebat, Ras," kata Amira setelah pin Laras berada di tangannya.

"Doain ya, Kak, semoga Laras bisa kuliah ke luar negri hehe...."

"Aamiin...." Amira dan Egi mengacak-ngacak rambut Laras lalu mereka tertawa lagi. 

Seminggu setelah malam itu, pagi-pagi sekali Amira bersama ayahnya pamit kepada keluarga Egi. Ada sedikit keharuan di sana, terutama bagi Laras dan Egi. Mereka bertiga tumbuh bersama sejak kecil. Berat bagi Amira untuk meninggalkan semuanya. Tapi demi memenuhi kerinduan Sang Ayah terhadap kampung halamannya, setelah istrinya meninggal beberapa bulan lalu, Amira harus rela meninggalkan rumah masa kecil yang penuh kenangan itu.

Egi menawarkan diri mengantar Amira dan ayahnya ke stasiun kereta. Mereka pun segera meluncur dengan menggunakan taksi. Di perjalanan, Egi dan Amira tak henti-hentinya membicarakan perihal cita-cita, saling betukar nasehat untuk terus berusaha, khayalan-khayalan konyol tentang masa depan dan sebagainya. Kemudian tertawa renyah. Ayah Amira hanya tersenyum sesekali melihat keakraban anaknya itu. Hingga tanpa terasa dua puluh menit kemudian mereka sudah sampai di stasiun kereta.

"Janji ya, tahun depan kita tukeran pin lagi," kata Egi sebelum melepas sahabatnya itu pergi.

"Janji!" Amira mengiyakan. Sorot matanya mengilatkan semangat dan kayakinan yang tinggi. Gadis berwajah princess dengan rambut agak pirang itu menyunggingkan senyum termanisnya sebelum ia benar-benar berlalu dari hadapan Egi.

Janji! Batin Egi mengulang ucapan Amira, lalu bergegas kembali dengan semangat menggebu.

*****

Kamar itu serba putih. Di dalamnya hanya terdapat sebuah ranjang besi beroda empat. Di atas ranjang tersebut, seorang laki-laki muda berbaring dalam keadaan tertidur setelah menjalani operasi. Tubuhnya terkulai tak berdaya. Selembar selimut putih menutupi tubuhnya dari dada hingga kaki. Di dekatnya, dua orang perempuan berwajah muram menemani sosok laki-laki di atas kasur itu. Air mata yang sudah mengering kian membuat wajah mereka muram, menggambarkan duka yang teramat sangat dalam.

Selang beberapa saat, laki-laki itu membuka mata perlahan, wajahnya meringis akibat sakit yang dirasakannya. Ia menyapu pandangan, berusaha mengadaptasikan matanya setelah sekian lama tertidur.

"Bu, Kak Egi udah siuman." Laras menarik tangan ibunya yang tampak lelah.

Perempuan paruh baya itu mendongak, duka di wajahnya sedikit memudar tergantikan senyum bahagia.

"Alhamdulillah, Nak, kamu sudah siuman...," kata Sang Ibu. Kesedihan yang dirasakannya membuat suara ibu serak dan berat. Lalu beliau mengusap tangan Egi lembut penuh kasih sayang.

"Egi di mana, Bu?" Egi menatap ibu dan adiknya bergantian.

"Kamu di rumah sakit, Nak,"

Egi termenung sesaat,  memaksa ingatannya kembali ke saat-saat terakhir sebelum ia kehilangan kesadaran. Perlahan, peristiwa memilukan pagi tadi tiba-tiba tergambar jelas dalam kepalanya. Sepulang mengantar Amira, sebuah truk menghantam taksi yang ditumpanginnya dengan sangat keras tepat pada bagian tempat Egi duduk. Taksi itu terjungkal, dan Egi terpelanting di dalamnya. Kepalanya membentur kaca jendela, kakinya terjepit. Kemudian semuanya gelap. Egi pingsan.

"Sabar ya, Kak, jangan banyak gerak dulu. Kakak masih sakit." Laras mengingatkan.

Tapi Egi tak menggubris. Ia menggerakkan tubuhnya hendak bangun. Namun tiba-tiba ia meringis lagi, kakinya terasa ringan dan kaku bercampur sakit yang tiada tara. Egi tidak bisa bangkit. Spontan, tangan Egi bergerak meraba kakinya.

Saat itulah Egi mendapat pukulan telak. Ia menyadari, kedua ujung kakinya hanya sampai lutut. Terbungkus perban.

"Kaki Egi kenapa, Bu....?!" Egi berteriak histeris. Lambat laun teriakanya berubah jadi tangisan bersamaan dengan linangan air mata, akibat dihantam kenyataan yang tidak pernah ia bayangkan sepanjang hidupnya.

Egi memekik dalam dekapan ibunya dan Laras. Kemudian hening. Hanya linangan air mata yang mengurai. Menghamburkan butiran duka.

Semenjak itu, Egi berubah drastis. Semangat hidupnya menguap. Hatinya bergejolak. Jiwanya rapuh. Terpukul kenyataan yang memilukan. Hari-harinya kosong. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain membiarkan dirinya terpuruk di atas kursi roda.

Lima bulan kemudian, dua pukulan telak kembali datang bertubi-tubi. Egi mendapat kabar dari Laras bahwa Amira sudah berhasil menerbitkan novel perdananya. Kabar itu tidak didapatnya langsung dari Amira, melainkan karena ketidaksengajaan Laras ketika sedang berada di toko buku. Sebuah novel berjudul Aku, Kau dan Adikmu menarik perhatiannya. Selain tertulis nama Amira, di dalam novel tersebut tertulis nama Egi dan Laras. Laras menunjukkan buku itu kepada Egi untuk menyemangatinya. Namun Egi malah semakin terpuruk. Bukan karena keberhasilan Amira, terlebih karena sahabatnya itu tidak pernah mengiriminya kabar. Hanya dua kali pesan singkat yang ia terima dari Amira. Itu pun hanya ucapan prihatin yang dianggap sekadar basa-basi oleh Egi. Amira seolah tidak peduli dengan keterpurukan yang dialaminya. Kesuksesan telah membuat Amira lupa diri.

Pukulan telak lainnya, bersamaan dengan kabar Amira, Laras berhasil mendapatkan beasiswa ke New York. Laras akan berangkat dua minggu lagi. Itu berarti hidup Egi akan benar-benar kosong. Dua orang yang selalu menemaninya sejak kecil, meninggalkannya satu persatu.

*****

Egi menggenggam pin milik Amira. Satu tahun sudah berlalu sejak pin itu berada di tangannya. Ia teringat kembali akan kebersamaan mereka saat perayaan tahun baru, tawa terakhir mereka di dalam taksi, serta janji yang terucap di ujung perpisahan. Janji yang diingkari. Sesaat, hatinya disapa rindu terhadap Amira. Rindu beraroma kepedihan, berpadu dengan gelap yang memayungi kamarnya sejak berbulan-bulan yang lalu hingga malam ini.

Kau pikir kau sudah hebat? Kau pikir aku tidak bisa sepertimu? Lihatlah, aku akan melebihimu! Egi membatin. Jiwanya dibakar emosi. Diputarnya kursi roda menghampiri ibu dan Laras di ruang tamu yang sedang berbicang tentang kuliah Laras di New York.

Tanpa basi-basi, Egi meminta kepada ibu untuk mengembalikan barang-barang pribadi miliknya. Sejak keluar dari rumah sakit, Egi meminta kamarnya dikosongkan. Sebagian barang-barangnya dibuang, sebagian lagi disimpan oleh ibunya. Termasuk laptop dan buku-buku catatan Egi tentang ide-ide tulisannya.

Sebuah kerdus kini teronggok dihadapan Egi. Ibu dan Laras tampak bingung dengan sikap Egi malam ini. Sesekali keduanya beradu pandang dengan alis mengerut. Setelah musibah yang dialaminya, Egi benar-benar mengasingkan diri. Kamarnya seperti ruangan isolasi para manusia pesakitan. Gelap dan kosong. Sekosong jiwanya.

"Egi membutuhkannya lagi, Bu. Egi mau nulis." Egi seolah paham arti tatapan ibu dan adiknya.

"Alhamdulillah... ibu senang sekali mendengarnya, Nak." Ibu mengusap rambut Egi, penuh kasih sayang. Wajah tuanya tampak berseri, binar di matanya menyiratkan kegembiraan yang teramat sangat. Beliau lalu tersenyum. Senyum yang tidak pernah terbit dari wajah tua itu semenjak Egi keluar dari rumah sakit.

Laras tidak bisa menahan kegembiraannya. Ia memeluk Egi dengan sangat erat. Seperti baru saja menemukan kakaknya yang sekian lama menghilang.

"Laras yakin kakak pasti bisa," kata Laras setengah berbisik. Lalu melepaskan pelukannya.

"Ini semua berkat kamu, Ras. Sekarang kakak sadar, bangkit adalah pilihan terbaik saat kita jatuh."

"Sekali dalam seumur hidup!" kata Egi lagi, ia mengutip ucapan Laras pagi tadi yang berhasil membangunkan kembali tekadnya yang telah lama mati.

Sejak malam itu semangat Egi kembali menggebu. Hari-harinya kini ia habiskan di depan laptop. Bersama coretan-coretan penting buah pemikirnnya dulu. Cita-citanya membuat jiwa Egi kembali hidup. Duka di hatinya perlahan terkikis. Kecacatannya tidak lagi ia anggap sebagai penghalang untuk meraih cita-cita.

Laras sudah kembali ke New York untuk melanjutkan kuliah. Sebelum berangkat, Laras menyerahkan novel beserta pin dari pemilik yang sama. Amira Nurlatif. Semakin lama ia menatap dua benda pemberian Laras itu, semangatnya semakin berkobar.

Kau akan memohon padaku untuk mengakuimu lagi sebagai sahabat, Amira Nurlatif! Batin Egi kembali terbakar.

Tiga bulan kemudian...

Cita-citanya kini sudah di depan mata. Setelah email terkirim ia hanya tinggal berharap semoga kerja kerasnya berbuah manis. Ada puluhan email masuk di inboxnya, tapi Egi tak acuh. Yang ada di benaknya sekarang adalah mengirimkan  tulisannya ke salah satu penerbit yang diincarnya sejak lama. Selesai mengklik send ia hendak logout dan menutup layar laptop. Tapi ada sedikit rasa penasaran yang menggelitiknya.

Perlahan, dibukanya email masuk yang ia terima selama laptopnya dimuseumkan. Semua email  itu dikirim dari satu orang yang sama. Amira Nurlatif.

Amira berkali-kali mengiriminya email. Amira begitu mengkhawtirkan kondisi Egi. Dalam beberapa emailnya Amira juga menceritakan musibah yang dialaminya selama ia di Malang.

Sahabat perempuannya itu mengalami kecelakaan serupa dengan Egi. Parahnya, saat ia terkapar di tengah jalan orang-orang tidak bertanggung jawab malah memanfaatkannya. Semua barang pribadi milik Amira raib. Amira terluka parah hingga mengalami kerusakan ginjal. Pada salah satu email tersebut, Amira tidak lupa mencantukan nomor telepon barunya berharap Egi segera menghubunginya.

Dada Egi sesak bagaikan dihantam benda keras seberat ratusan ton saat matanya membaca email terakhir dari Amira. Titik-titik bening perlahan menjulur di pipinya.


Selamat pagi, sahabatku...
Sampai hari ini aku masih menunggu kabarmu. Semoga kamu baik-baik saja di Jakarta.
Aku ingin memberitahumu, insya alloh sore nanti aku akan menjalani operasi. Mohon doanya, sahabatku. Kamu masih ingat kan dengan janji kita di stasiun dulu. Iya, aku akan menemuimu di Jakarta saat tahun baru nanti.
Pesanku selalu sama. Apapun yang terjadi, bagaimanapun kondisimu sekarang, kamu harus tetap semangat ya. Kutunggu segera kabar baik darimu.

Salam,
Amira Nurlatif.

Egi segera meraih handpone, lalu menghubungi nomor telepon yang tercantum pada salah satu email dari Amira. Teleponnya tersambung dengan seorang laki-laki tua yang suaranya sudah tidak asing lagi di telinga Egi. Dia adalah ayah Amira. Egi tidak mau basa-basi lagi, ia langsung meminta izin untuk berbicara sengan Amira. Namun lagi-lagi, Egi harus menerima kenyataan pahit. Sesak menghunjam, langit-langit kamar seolah ambruk menimpa tubuhnya, udara yang dihirupnya seperti berubah menjadi racun yang mematikan, tubuhnya lemas seketika. Jawaban ayah Amira seketika membuat Egi bungkam dalam tangis yang mendalam.

"Amira sudah meninggal, Nak."

*****